Pemerintah memegang peran
yang sangat penting dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Robert
Kay dan Jaqueline Alder, 1998 dalam bukunya Coastal Planning and Management (hal
69 – 93) menyoroti mengenai tatanan administratif pemerintah dalam perencanaan
dan pengelolaan wilayah pesisir. Dikemukakan bahwa suatu sistem pengelolaan
tidak mungkin dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama apabila tidak ada
administrasi yang bagus di dalamnya, hal ini juga berlaku untuk wilayah pesisir
dimana lingkup dan kompleksitas issue melibatkan banyak pelaku. Kepentingan
semua pihak yang terlibat dengan wilayah pesisir (stakeholder) perlu
diatur melalui peraturan yang bertanggung jawab sehingga keberlanjutan wilayah
pesisir untuk masa mendatang dapat dijaga. Sorensen dan McCreary (1990)
menyebutkan faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan
program-program pengelolaan dan administrasi untuk wilayah pesisir yaitu :
1.
Pemerintah harus memiliki insiatif dalam menanggapi berbagai
permasalahan degradasi sumberdaya yang terjadi dan konflik yang melibatkan
banyak kepentingan.
2.
Penanganan wilayah pesisir berbeda dengan penanganan proyek
(harus dilakukan terus menerus dan biasanya bertanggung jawab kepada pihak
legislatif)
3.
Batas wilayah hukum secara geografis harus ditetapkan
(meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan)
4.
Menetapkan tujuan khusus atau issue permasalahan yang harus
dipecahkan melaui program-program
5.
Memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah
sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari
organisasi-organisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi
pengelolaan)
6.
Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan
pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam
penggunaan pesisir dan lingkungan.
Jones dan Westmacott, 1993
menyimpulkan bahwa tidak ditemukan jalan terbaik untuk mengorganisasi
pemerintah sehubungan dengan pengelolaan pesisir. Hal ini disebabkan dalam
kenyataan didunia terdapat keanekaragaman sosial, budaya, politik dan faktor
administratif yang menyebabkan tidak ada satu-satunya jalan terbaik. Dengan
demikian para perancang administrasi, untuk menata program pengelolaan pesisir
yang baru, harus menyesuaikan dengan struktur administratif untuk memperoleh manfaat
dari faktor-faktor budaya, sosial dan politik didalam kewenangan secara hukum
dimana mereka berinteraksi sesuai issue yang akan dipecahkan. Sorensen dan
McCreary (1990) menggambarkan susunan institusional untuk mengalokasi
kelangkaan sumberdaya dan nilai kompetitif di wilayah pesisir adalah ; gabungan
hukum/aturan, adat/kebiasaan, organisasi dan strategi pengelolaan.
Kay dan Alder, 1999
mengemukakan jalan terbaik untuk menggambarkan susunan institusional untuk
pengelolaan pesisir adalah membagi sistem pemerintah dalam komponen vertikal
dan komponen horizontal. Tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat pusat, propinsi
dan kabupaten merupakan komponen vertikal. Instansi sektoral dengan
tugas/fungsi tertentu merupakan komponen horisontal yang ada di tiap-tiap
komponen vertikal. Alternatif lain untuk menggambarkan penataan pemerintah
dalam pengelolaan pesisir adalah fokus pada bagaimana berbagai aktivitas
pengelolaan pesisir dikontrol (Born dan Miller, 1998). Model ini banyak dipakai
di negara USA, dan dihasilkan dua tipe pemerintahan yaitu :
1.
Jaringan kerja (networked), dimana pemerintahan
sektoral yang ada dan institusi tetap. Tidak ada instansi yang secara sah
memerankan sebagai pengelola kawasan pesisir. Koordinasi antar sektor dibangun
melalui jaringan dari perundang-undangan dan kebijakan yang ada.
2.
Legislatif, ditetapkan melaui undang-undang instansi yang
berwenang mengelola kawasan pesisir. Dapat ditunjuk dari instansi yang sudah
ada atau membentuk instansi baru.
Menyinggung kembali
tingkatan pemerintahan sebagai komponen vertikal, Kay dan Alder, 1999 melihat
bahwa aktifitas dan tanggungjawab secara vertikal seringkali lebih sulit
dirumuskan dibandingkan dengan komponen horisontal. Hal ini disebabkan karena
kondisi politik, administrasi, dan keuangan dalam tingkatan pemerintahan
berbeda. Adanya ketidakseimbangan kekuatan dana dan perbedaan afiliasi politik
seringkali mendikte secara keseluruhan bentuk pengelolaan pesisir dalam suatu
pemerintahan, baik secara horisontal maupun vertikal. Hal ini karena perbedaan
secara horisontal akan melebar, dikontrol secara relatif oleh kekuatan vertikal
dari tingkatan pemerintahan tertentu. Dengan demikian pemerintahan pada
tingkatan yang lebih rendah dan lebih miskin tidak akan mampu menyusun
sektor-sektor secara horisontal yang komplek. Issue utama terhadap distribusi
secara vertikal dari suatu kekuasaan pengelolaan adalah tingkat pemusatan dalam
pengambilan keputusan, dimana secara fundamental pengelolaan tidak terbatas
hanya pada wilayah pesisir.