Meskipun pemerintah sudah berusaha dengan sebaik
mungkin dalam menyelenggarakan program transmigrasi tersebut, namun masih
banyak kesulitan yang dihadapi dalam proses pelaksanaannya, antara lain
(Swasono, 1985:243):
- Masalah-masalah
administratif, meliputi semua masalah organisasi di dalam departemen yang
mengatur dan koordinasi dengan dinas pemerintah yang lain.
- Tiadanya
data-data sebagai landasan, menunjuk kepada tiadanya survei lahan, survei
kemampuan tanah, studi hak atas tanah, studi tentang hukum adat dan
kebiasaan di daerah-daerah penerima yang akan mempengaruhi sikap terhadap
para trasnsmigran. Hal-hal tersebut menyebabkan munculnya banyak masalah
dalam berbagai bentuk.
Selain menghadapi kesulitan seperti di atas,
program transmigrasi juga banyak menerima banyak kritikan dari berbagai pihak.
Kritikan-kritikan tersebut seperti (Ramadhan, 1993:21):
1. Transmigrasi merupakan proyek
jawanisasi atau kolonialisasi suku Jawa terhadap suku-suku lain di luar Jawa.
2. Transmigrasi merupakan proyek
yang tidak manusiawi (inhuman project)
karena banyak di antara mereka yang menyedihkan keadaannya dan sebagian
transmigran pulang kembali ke Jawa.
3. Transmigrasi merupakan
persiapan-persiapan invasi ke negara lain.
4. Transmigrasi merupakan proyek
yang merusak lingkungan hidup.
5. Transmigrasi merupakan proyek
paksaan.
6. Transmigrasi dapat
menimbulkan disintegrasi sosial dan mengancam kehidupan budaya dan tradisi
lokal.
7. Transmigrasi dapat
menimbulkan gangguan terhadap hak-hak tanah setempat.
Di
tengah-tengah tantangan yang dihadapi, muncul suatu pemikiran baru dalam
pelaksanaan program transmigrasi. Pelaksanaan transmigrasi tidak hanya
dilakukan untuk mengembangakan kawasan pertanian saja namun juga untuk
menumbuhkan pusat-pusat perekonomian baru dalam suatu daerah. Inovasi baru
tersebut adalah pelaksanaan program transmigrasi swakarsa industri, yang
dilandasi oleh pemikiran-pemikiran sebagai berikut (Nangoi, 1993:8):
1. Luas pulau Jawa hanya sekitar
7% dari seluruh wilayah tanah air dan ditempati oleh 60% dari jumlah penduduk
Indonesia, serta diwarnai dengan kegiatan industri sebesar 62% dari keseluruhan
industri nasional. Ini tentu tidak sesuai dengan daya dukung alamnya.
2. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari bagi masyarakat luar pulau Jawa, banyak dibutuhkan produk industri
dari pulau Jawa.
3. Adanya kenyataan bahwa banyak
industri hulu yang mendekati bahan baku dijumpai di luar pulau Jawa, sehingga
kondisi ini mempengaruhi perkembangan daerah dan akhirnya membentuk pasar. Hal
ini sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri hilir, namun hal tersebut
belum bisa dilaksanakan mengingat untuk berpindah atau mengembangkan keluar
pulau Jawa dirasakan sangat mahal. Dalam hal ini diperlukan suatu pola dan wadah yang terjangkau industri hilir.
4. Di masa akan mendatang akan
semakin banyak kawasan industri dibangun di pulau Jawa, produksi dengan
peralatan canggih dan modal kuat menekan industri kecil di pulau Jawa. Oleh
sebab itu, perlu disiapkan tempat untuk menjamin kelangsungan hidup industri
kecil di luar pulau Jawa.
Sebagai dimensi baru yang berpotensi, transmigrasi
industri memiliki beberapa manfaat bagi banyak pihak sebagai berikut (Nangoi,
1993: 32):
1. Pemerintah daerah pengirim
(donor): penataan lingkungan serta mengurangi kepadatan penduduk dan industri.
2. Pemerintah daerah penerima
(akseptor): memacu pertumbuhan penduduk dan ekonomi serta peningkatan
produktivitas dan kualitas sumber daya manusia.
3. Pengusaha industri kecil:
peluang bisnis, pemindahan atau pengembangan usaha secara ekonomis, mendekati
sumber bahan baku serta produk yang lebih kompetitif.
4. Swasta (developer): peluang bisnis serta profit centre jangka panjang.
5. Departemen Transmigrasi:
pengembangan pola transmigrasi dari agraris ke industri serta peningkatan mutu
transmigran dari non skill menjadi skill people.
6. Departemen Perindustrian:
pemerataan industri diluar pulau Jawa serta peningkatan efektivitas dalam
pembinaan industri kecil.
7.
Nasional: pemerataan penduduk, pemerataan industri dan pemerataan ekonomi.