A. PEMBANGUNAN EKONOMI DAN KEMISKINAN
Pembangunan ekonomi merupakan cara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam definisi yang ketat, pembangunan diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional (Gross National Product) nya pada tingkat 5 sampai 7% atau bahkan lebih tinggi, jika hal itu memungkinkan. Negara-negara yang besar GNP perkapitanya (income per capita) dinilai maju sedangkan yang kecil dinilai terbelakang.
Negara-negara maju yang pembangunan ekonominya telah berkembang sejak dua abad yang lalu saat ini menjadi negara-negara kaya yang masyarakatnya hidup dalam keadaan sejahtera. Di Belanda, misalnya, rakyat yang tidak bekerjapun mendapatkan kehidupan yang layak, selain memiliki rumah, biaya hidup bulanan, biaya pendidikan anak, mereka juga mendapatkan biaya untuk berlibur. Di negara-negara berkembang hal ini tidak terjadi. Negara-negara berkembang secara mayoritas masih mengalami kemajuan ekonomi yang tidak besar akibat negara-negara ini baru saja keluar dari situasi penjajahan- rata-rata setengah abad yang lalu, serta berbagai kegagalan dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi dan kemiskinan merupakan hal yang saling terkait. Bagi Negara-negara berkembang pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk mengatasi persoalan kemiskinan malah seringkali menciptakan proses kemiskinan (poverty trap) itu sendiri. Hal ini sangat terkait dengan kesalahan memilih model pembangunan maupun kesalahan akibat kelalaian dalam mengelola pembangunan itu sendiri.
Saat ini sistem pembangunan ekonomi di hampir semua Negara-negara di dunia sama, yaitu sistem ekonomi liberal. Sistem ini prinsipnya adalah model pembangunan ekonomi yang menyerahkan sistemnya pada mekanisme pasar. Artinya, pertemuan kepentingan produsen dan konsumen ditentukan pasar. Peranan pemerintah hanya sebatas fasilitator yang mengatur berlangsungnya ekonomi pasar agar tidak terdistorsi. Dalam kerangka pasar ini pula dimaksudkan alokasi resourses secara efektif terjadi dengan sendirinya tanpa perlu intervensi pemerintah. Meskipun sebenarnya negara-negara berkembang masih melakukan intervensi dalam pengelolaan ekonomi dan distribusinya.
Fredrich Hayek, Milton Friedman dan William Niskanen merupakan tokoh-tokoh aliran neoklasik pendukung sistem liberal yang mengatakan bahwa sistem ekonomi hendaklah didasarkan sepenuhnya pada pemilikan individu atas faktor-faktor produksi, mekanisme pasar dan persaingan bebas. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar. Menurut Friedrich Hayek mekanisme pasarlah yang akan menentukan optimalisasi sumber-sumber ekonomi, memecahkan kompleksitas permasalahan ekonomi dan menghadapi ketidakpastian. Sistem mekanisme pasar yang akan diatur oleh persepsi individu mengenai gejala-gejala dan pengetahuan para individu dengan sendirinya akan memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat untuk memecahkan masalah sosial. Sedangkan Milton Friedman mengatakan bahwa atas dasar kebebasan memilih seorang calon pekerja tidak akan dapat ditekan oleh seorang majikan tertentu olehkarena calon ini dapat bebas memilih untuk bekerja dengan majikan lain yang memberikan kondisi yang lebih baik padanya.
Friedman juga mengatakan
“No one buys bread knows weather the wheat from which it is made grown by a communist or republican, by a constitutionalist or a Fascist, or for that matter by a Negro or a white. This is how an impersonal market separates economics activities from political views and protects men from being discriminated against in their economic activities for reasons that are irrelevant to their productivity..”
Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa pasar lebih unggul dibandingkan intervensi pemerintah. Dahulu, ketika sistem komunisme masih berlangsung, sistem ekonomi terencana diberlakukan di negara-negara bekas Uni Sovyet, Cina dan Negara sosialis lainnya. Sistem pembangunan terencana mengatur perekonomian bukan dalam mekanisme pasar, melainkan direncanakan oleh pemerintah. Pemerintah menentukan kebijakan-kebijakan yang menyangkut harga, subsidi, tata niaga, alokasi dana pembangunan yang dianggap baik untuk kesejahteraan rakyat.
Kegagalan sistem komunis mensejahterakan rakyat di negara-negara tersebut, membuat sebuah persepsi hampir semua negara-negara di dunia untuk menerima aksioma bahwa ekonomi liberal adalah satu-satunya sistem ekonomi yang baik. Negara- negara barat bahkan menganggap kejatuhan Komunisme pada awal tahun 90an adalah kemenangan sistem ekonomi liberal atau kemenangan kapitalisme.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, saat ini menghadapi situasi dilemma dalam membangun perekonomiannya. Mengikuti sistem liberal baik sebagiannya maupun secara total pada kenyataannya tidak memberikan jawaban dalam meningkatkan kesejahteraannya. Konsep liberal yang menjamin terjadinya pemerataan dengan sendirinya melalui “trickle down effect” sampai saat ini tidak terjadi. Malah akumulasi modal dan kepemilikan serta pengaruh atas kehidupan nasional dikuasai oleh segelintir orang secara terus menerus. Keadaan ini membuat besarnya tekanan-tekanan dari kelompok aktifis non pemerintah (pressure group) untuk tidak menggunakan konsep liberal atau neoliberal secara total.
Di sisi lain, keluar dari sistem liberal akan menemui isolasi dunia, seperti yang kini masih dialami Kuba dan Korea Utara. Padahal, peranan ekonomi dunia sudah sangat dominan, yang sulit dibendung untuk mempengaruhi kehidupan ekonomi nasional. Cina sendiri yang tadinya sangat berani atas isolasi dunia, sejak akhir 80an sudah masuk kepada sistem ekonomi pasar. Ditambah pula ekonom-ekonom Negara berkembang yang menguasai birokrasi dan pembangunan umumnya hasil didikan faham neoklasik.
Pemikir pemikir ekonomi dan pembangunan dunia ketiga yang beraliran strukturalis seperti Gunder Frank, Theodonia Dos Santos, Samir Amin, Kurin, Ranjit sao, Mohammad Hatta, Sritua Arief dan Adi Sasono, dll, menentang pemberlakukan sistem ekonomi liberal sebelum problem-problem struktural di negara-negara berkembang di atasi. Problem tersebut menyangkut; pertama, kegagalan pasar, kedua, berlangsungnya kepincangan hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, di mana negara-negara berkembang tergantung dalam hal industri keuangan dan teknologi, sehingga terjadi pertukaran yang tidak adil antara negara maju dan berkembang. Ketiga, tingginya tingkat pengangguran sehingga terjadi oversupply tenaga kerja yang pada akhirnya memperburuk nilai tawar pekerja dan pencari kerja. Keempat, terjadinya asimetri informasi yang berkaitan dengan kemudahan setiap orang mendapatkan permodalan dan akses usaha lainnya.
Pada poin pertama, kegagalan pasar terjadi di semua negara-negara berkembang. Kegagalan pasar adalah situasi di mana hukum permintaan dan penawaran tidak terjadi. Kegagalan ini terjadi akibat peraktek monopoli, monopsoni dan oligopoli. Juga proteksi pemerintah atas suatu industri (industri strategis maupun infant industry). Di pasar tenaga kerja (Labour Market) kegagalan terjadi karena umumnya terjadi over supply tenaga kerja dan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya.
Dalam hubungan poin kedua tersebut di atas, industrialisasi yang sedang berlangsung di negara-negara berkembang tidak tumbuh untuk memperbesar kapasitas industri nasional dan peningkatan upah buruh serta daya belinya. Industrialisasi lebih dimaksudkan untuk mendorong proses relokasi industri di negara-negara maju yang sudah kurang menguntungkan dilakukan di sana. Dari sisi negara berkembang, industri ini sebagian besar hanya sebagai industri subtitusi-impor untuk mendukung konsumsi barang-barang industri yang diimpor untuk kepentingan pembangunan.
Dalam kerangka hubungan di atas pula industri yang terjadi tidak menciptakan surplus secara total, karena dari setiap modal yang diinvestasikan asing kenegara berkembang akan dikembalikan dalam perbandingan 1:2,7 (Dos Santos, kasus Amerika Latin tahun pengamatan 1946-1967, dalam dollar). Pada tahun enampuluhan angka perbandingan tersebut menjadi 1:5,4 (Dos Santos dalam Sritua Arief, 1998). Di Indonesia sendiri Sritua Arief dan Adi Sasono menghitung pada angka perbandingan 1:2 untuk tahun tujuhpuluhan dan menjadi 1:10 tahun 1999. Di dalam negeri sendiri, surplus yang diperoleh pengusaha lokal telah dibelanjakan secara konsumtif untuk barang-barang mewah. (1), (10)
Dari sisi alih teknologi pun tidak terjadi secara signifikan, oleh karena kehadiran industri yang didukung dengan hadirnya perusahaan-perusahaan asing (Multinational Corporation/ MNC) di negara berkembang tidak menempatkan negara berkembang sebagai tempat industri yang penting. Industrialisasi di negara berkembang ditopang dengan teknologi “usang” dan mesin-mesin yang sudah tidak efisien lagi untuk industri negara maju. Industri ini ditujukan untuk memproduksi barang-barang konsumsi dalam rangka kebijakan subtitusi impor yang pasarannya justru untuk negara berkembang.
Pemikir-pemikir strukturalis dunia ketiga meminta adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Campurtangan ini diperlukan, selain atas alasan penentangan sistem pasar bebas yang diutarakan di atas, karena model ekonomi klasik Adam Smith dan Ricardo, serta model neoklasik (competitive equilibrium model) yang tidak menghendaki campurtangan pemerintah gagal menjelaskan proses hubungan kelas dalam sistem ekonomi di negara berkembang. Menurut Sao, hubungan-hubungan ekonomi yang tidak kompetitif justru terjadi dengan adanya aliansi dari kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi, aliansi kelas borjuasi dengan kelas kapitalis asing serta aliansi kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kapitalis asing. Dengan campur tangan pemerintah, kaum strukturalis berpendapat bahwa massa rakyat dapat perlindungan untuk berkompetisi dengan baik.
Ekonom besar di luar kelompok strukturalis yang mendukung adanya intervensi pemerintah adalah John Maynard Keynes. Keynes dan para pengikutnya mendukung adanya campurtangan pemerintah dari sisi yang berbeda, yaitu bagaimana pemerintah memastikan terjadinya full employment dalam system ekonomi. Untuk itu pemerintah perlu memperbesar sisi penawaran (Demand side). Bank Dunia sendiri mendorong adanya campurtangan pemerintah, peran minimal adalah penyediaan barang-barang publik dan perlindungan si miskin dan peran aktif dapat mendorong kegiatan swasta dan redistribusi asset.
Dalam hal pengangguran, tingkat penganggguran di negara-negara berkembang sangat tinggi. Di Indonesia tingkat pengangguran mencapai angka 9,5% (2003) dan angka tersebut dapat mencapai 31 % jika dimasukkan pengangguran tidak terbuka dan setengah pengangguran. Besarnya tingkat pengangguran ini telah mengurangi daya tawar pekerja dan pencari kerja terhadap pemilik modal. Apa yang disebut Milton Friedman bahwa setiap pekerja ataupun pencari kerja pada dasarnya tidak dapat ditekan pengusaha sangat sulit dipahami dalam situasi over supply tenaga kerja tersebut. Apalagi di negara-negara berkembang, sistem jaminan sosial tidak berfungsi, sehingga keluar dari pekerjaan untuk mencari pekerjaan yang lain bukanlah pilihan yang mudah. Berbeda di negara-negara maju di mana memang supply demand tenaga kerja relative seimbang dan sistem jaminan sosial berlangsung baik. Hal ini membuat posisi tawar pekerja di negara maju terhadap pemilik modal sangat tinggi, di samping “law enforcement” mereka berjalan baik.
B. MODEL PEMBANGUNAN DESA TERPADU
Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu – ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa sebagai unsur Pemerintah terdepan. Struktur Pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan Desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa – bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah.
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat ( setiap departemen ) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di ddesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi.
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
C. MODEL PEMBANGUNAN EKONOMI ABAD KE-21
Banyak jalan ke Roma. Itulah pepatah lama. Namun, arah ke pembangunan ekonomi dalam abad ke-21 tampaknya cuma ada dua: Jalan Cina dan Jalan India. Keduanya berbeda dalam prinsip dan kebijakan.
Jalan yang ditempuh Cina, di bawah semboyan Selamat Datang Investasi Asing. Kalau tak percaya, datanglah ke pusat perbelanjaan Jakarta dan kota besar lain di. Hampir semua lapaknya dipenuhi barang Zhongguo Zhizao atawa Made in China. Gejala serupa juga terlihat pada produk komputer dan aksesorisnya.
Di AS, banjirnya barang impor dari Negeri di Tengah Dunia itu tercermin oleh Wall Mart, toko serbaada yang menyediakan keperluan untuk kaum kelas menengah ke bawah. Dan Wall Mart selalu ada di kota-kota paling kecil pun di negeri Paman Sam itu. Itu semua adalah akibat dari kebijakan Cina setelah mendiang Deng Xiaoping pada awal 1980-an memperkenalkan reformasi dan keterbukaan (gaige he kaifang). Lokomotif utama kebijakan itu adalah Foreign Direct Investment (FDI).
Membanjirnya produk Cina ke pasaran global merupakan akibat langsung dari kebijakan yang mengutamakan ekspor, dan itu juga sebaghai hasil dari FDI. Sejumlah perusahaan asing memproduksi barang ekspor, dan Cina menyediakan lahan, upah buruh yang relatif rendah, dan aturan bagi para pemodal Cina yang lebih kendor ketimbang di negara lain.
Akibat dari kebijakan itu di satu sisi sangat berhasil. Rata-rata laju perekonomian Cina berada di atas angka 8%/tahun. Dan itu terjadi terus-menerus dalam kurun waktu lebih dari 25 tahun terakhir ini. Namun, di sisi lain ada juga segi negatif. Sebegitu jauh belum banyak muncul perusahaan yang benar-benar nasional dan mampu bersaing dengan perusahaan multinasional di pasar global.
Belum lama ini Majalah Newsweek memuat tulisan tentang langkanya perusahaan nasional Cina yang tampil menonjol di tataran global. Itu, kata penulisnya, karena kebanyakan perusahaan Cina memproduksi barang tanpa label yang dijual di bawah label perusahaan pembelinya. Itulah plus-minus model pembangunan Cina. Para pakar ekonomi menyebut strategi pembangunan Cina sebagai pendekatan dari atas.
Ada lagi pembangunan ekonomi yang berseberangan dengan strategi Beijing. Itulah yang ditempuh India yang justru mendorong tumbuhnya perusahaan dan modal domestik. Itulah sebabnya, dibandingkan Cina, India kurang diminati pemodal asing, malahan para investor internasional sedikit ragu akan kesediaan dan kesiapan India menjalankan reformasi pasar.
Salah satu alasan mengapa Cina seakan menjadi gumpalan gula yang dikerumuni semut adalah faktor diaspora golongan etnis Cina. Jumlah mereka cukup besar, sekitar 55 juta dan tinggal di luar Cina. Banyak di antara mereka yang menjadi pengusaha konglomerat dan tertarik berinvestasi di negeri leluhur. Sebaliknya orang India perantauan jumlahnya hanya sekitar 20 juta, tak semakmur golongan etnis Cina perantauan.
Konon, hubungan antara orang India perantauan dengan tanah asal mereka kurang erat. Malahan mereka ini kurang disukai orang India yang tetap berdiam di India. Kalaupun ada yang menjadi pengusaha besar, mereka segan berinvestasi di negeri tempat tinggal nenek moyang mereka. Gejala ini masih berlangsung paling tidak sampai kini dengan kemungkinan akan berubah apabila pertumbuhan ekonomi India makin membumbung.
Karena dijauhi para investor asing, laju pertumbuhan ekonomi India sampai kini masih jauh di belakang Cina. Namun karena ketekunannya mendorong munculnya para investor domestik diperkirakan perekonomian India lebih kokoh daripada Cina dalam jangka panjang. Perkiraan ini dibuktikan ranking Forbes yang mendaftar 200 perusahaan kelas dunia pada 2002. Ke dalam daftar 200 besar itu tertera 13 perusahaan India yang dianggap mampu bersaing dengan perusahaan kaliber besar dari AS dan Uni Eropa. Hanya ada empat perusahaan Cina yang tertera dalam daftar itu.
Dilihat dari kacamata tataran ekonomi makro, kebijakan Cina mencerminkan perkembangan historis dan ideologis. Cina begitu berani mendatangkan modal asing, tapi sebaliknya menerapkan berbagai peraturan yang membatasi munculnya dan aktifnya investor domestik. Salah satu alasan utamanya adala kekhawatiran kalau kalau investor swasta itu menjadi pesaing BUMN, walaupun sebenarnya kinerja sejumlah perusahaan milik pemerintah itu kurang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Cina justru perusahaan asinglah yang mendapat keuntungan dan kemudahan dari reformasi. India justru sebaliknya.
Di tengah krisis global yang tengah melanda, diperkirakan bahwa India yang akan mampu bertahan. Sifat pembangunannya bagaikan mengikuti ajaran Mahatma Gandhi. Itulah swadeshi, atau berupaya dengan berdasarkan pada kemampuan sendiri. Cina di bawah Mao Zedong juga pernah mengomandokan “berdiri di atas kaki sendiri” dengan slogan Maois yang dikenal dengan nama zili gengsheng. Akhirnya, waktulah yang akan menentukan apakah “Model Cina” atau “Model India” yang lebih tangguh. Untuk sementara, jalur cepat untuk pembangunan ekonomi masih berada di tangan Cina.
Pembangunan ekonomi merupakan cara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam definisi yang ketat, pembangunan diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional (Gross National Product) nya pada tingkat 5 sampai 7% atau bahkan lebih tinggi, jika hal itu memungkinkan. Negara-negara yang besar GNP perkapitanya (income per capita) dinilai maju sedangkan yang kecil dinilai terbelakang.
Negara-negara maju yang pembangunan ekonominya telah berkembang sejak dua abad yang lalu saat ini menjadi negara-negara kaya yang masyarakatnya hidup dalam keadaan sejahtera. Di Belanda, misalnya, rakyat yang tidak bekerjapun mendapatkan kehidupan yang layak, selain memiliki rumah, biaya hidup bulanan, biaya pendidikan anak, mereka juga mendapatkan biaya untuk berlibur. Di negara-negara berkembang hal ini tidak terjadi. Negara-negara berkembang secara mayoritas masih mengalami kemajuan ekonomi yang tidak besar akibat negara-negara ini baru saja keluar dari situasi penjajahan- rata-rata setengah abad yang lalu, serta berbagai kegagalan dalam pembangunan.
Pembangunan ekonomi dan kemiskinan merupakan hal yang saling terkait. Bagi Negara-negara berkembang pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk mengatasi persoalan kemiskinan malah seringkali menciptakan proses kemiskinan (poverty trap) itu sendiri. Hal ini sangat terkait dengan kesalahan memilih model pembangunan maupun kesalahan akibat kelalaian dalam mengelola pembangunan itu sendiri.
Saat ini sistem pembangunan ekonomi di hampir semua Negara-negara di dunia sama, yaitu sistem ekonomi liberal. Sistem ini prinsipnya adalah model pembangunan ekonomi yang menyerahkan sistemnya pada mekanisme pasar. Artinya, pertemuan kepentingan produsen dan konsumen ditentukan pasar. Peranan pemerintah hanya sebatas fasilitator yang mengatur berlangsungnya ekonomi pasar agar tidak terdistorsi. Dalam kerangka pasar ini pula dimaksudkan alokasi resourses secara efektif terjadi dengan sendirinya tanpa perlu intervensi pemerintah. Meskipun sebenarnya negara-negara berkembang masih melakukan intervensi dalam pengelolaan ekonomi dan distribusinya.
Fredrich Hayek, Milton Friedman dan William Niskanen merupakan tokoh-tokoh aliran neoklasik pendukung sistem liberal yang mengatakan bahwa sistem ekonomi hendaklah didasarkan sepenuhnya pada pemilikan individu atas faktor-faktor produksi, mekanisme pasar dan persaingan bebas. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar. Menurut Friedrich Hayek mekanisme pasarlah yang akan menentukan optimalisasi sumber-sumber ekonomi, memecahkan kompleksitas permasalahan ekonomi dan menghadapi ketidakpastian. Sistem mekanisme pasar yang akan diatur oleh persepsi individu mengenai gejala-gejala dan pengetahuan para individu dengan sendirinya akan memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat untuk memecahkan masalah sosial. Sedangkan Milton Friedman mengatakan bahwa atas dasar kebebasan memilih seorang calon pekerja tidak akan dapat ditekan oleh seorang majikan tertentu olehkarena calon ini dapat bebas memilih untuk bekerja dengan majikan lain yang memberikan kondisi yang lebih baik padanya.
Friedman juga mengatakan
“No one buys bread knows weather the wheat from which it is made grown by a communist or republican, by a constitutionalist or a Fascist, or for that matter by a Negro or a white. This is how an impersonal market separates economics activities from political views and protects men from being discriminated against in their economic activities for reasons that are irrelevant to their productivity..”
Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa pasar lebih unggul dibandingkan intervensi pemerintah. Dahulu, ketika sistem komunisme masih berlangsung, sistem ekonomi terencana diberlakukan di negara-negara bekas Uni Sovyet, Cina dan Negara sosialis lainnya. Sistem pembangunan terencana mengatur perekonomian bukan dalam mekanisme pasar, melainkan direncanakan oleh pemerintah. Pemerintah menentukan kebijakan-kebijakan yang menyangkut harga, subsidi, tata niaga, alokasi dana pembangunan yang dianggap baik untuk kesejahteraan rakyat.
Kegagalan sistem komunis mensejahterakan rakyat di negara-negara tersebut, membuat sebuah persepsi hampir semua negara-negara di dunia untuk menerima aksioma bahwa ekonomi liberal adalah satu-satunya sistem ekonomi yang baik. Negara- negara barat bahkan menganggap kejatuhan Komunisme pada awal tahun 90an adalah kemenangan sistem ekonomi liberal atau kemenangan kapitalisme.
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, saat ini menghadapi situasi dilemma dalam membangun perekonomiannya. Mengikuti sistem liberal baik sebagiannya maupun secara total pada kenyataannya tidak memberikan jawaban dalam meningkatkan kesejahteraannya. Konsep liberal yang menjamin terjadinya pemerataan dengan sendirinya melalui “trickle down effect” sampai saat ini tidak terjadi. Malah akumulasi modal dan kepemilikan serta pengaruh atas kehidupan nasional dikuasai oleh segelintir orang secara terus menerus. Keadaan ini membuat besarnya tekanan-tekanan dari kelompok aktifis non pemerintah (pressure group) untuk tidak menggunakan konsep liberal atau neoliberal secara total.
Di sisi lain, keluar dari sistem liberal akan menemui isolasi dunia, seperti yang kini masih dialami Kuba dan Korea Utara. Padahal, peranan ekonomi dunia sudah sangat dominan, yang sulit dibendung untuk mempengaruhi kehidupan ekonomi nasional. Cina sendiri yang tadinya sangat berani atas isolasi dunia, sejak akhir 80an sudah masuk kepada sistem ekonomi pasar. Ditambah pula ekonom-ekonom Negara berkembang yang menguasai birokrasi dan pembangunan umumnya hasil didikan faham neoklasik.
Pemikir pemikir ekonomi dan pembangunan dunia ketiga yang beraliran strukturalis seperti Gunder Frank, Theodonia Dos Santos, Samir Amin, Kurin, Ranjit sao, Mohammad Hatta, Sritua Arief dan Adi Sasono, dll, menentang pemberlakukan sistem ekonomi liberal sebelum problem-problem struktural di negara-negara berkembang di atasi. Problem tersebut menyangkut; pertama, kegagalan pasar, kedua, berlangsungnya kepincangan hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, di mana negara-negara berkembang tergantung dalam hal industri keuangan dan teknologi, sehingga terjadi pertukaran yang tidak adil antara negara maju dan berkembang. Ketiga, tingginya tingkat pengangguran sehingga terjadi oversupply tenaga kerja yang pada akhirnya memperburuk nilai tawar pekerja dan pencari kerja. Keempat, terjadinya asimetri informasi yang berkaitan dengan kemudahan setiap orang mendapatkan permodalan dan akses usaha lainnya.
Pada poin pertama, kegagalan pasar terjadi di semua negara-negara berkembang. Kegagalan pasar adalah situasi di mana hukum permintaan dan penawaran tidak terjadi. Kegagalan ini terjadi akibat peraktek monopoli, monopsoni dan oligopoli. Juga proteksi pemerintah atas suatu industri (industri strategis maupun infant industry). Di pasar tenaga kerja (Labour Market) kegagalan terjadi karena umumnya terjadi over supply tenaga kerja dan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya.
Dalam hubungan poin kedua tersebut di atas, industrialisasi yang sedang berlangsung di negara-negara berkembang tidak tumbuh untuk memperbesar kapasitas industri nasional dan peningkatan upah buruh serta daya belinya. Industrialisasi lebih dimaksudkan untuk mendorong proses relokasi industri di negara-negara maju yang sudah kurang menguntungkan dilakukan di sana. Dari sisi negara berkembang, industri ini sebagian besar hanya sebagai industri subtitusi-impor untuk mendukung konsumsi barang-barang industri yang diimpor untuk kepentingan pembangunan.
Dalam kerangka hubungan di atas pula industri yang terjadi tidak menciptakan surplus secara total, karena dari setiap modal yang diinvestasikan asing kenegara berkembang akan dikembalikan dalam perbandingan 1:2,7 (Dos Santos, kasus Amerika Latin tahun pengamatan 1946-1967, dalam dollar). Pada tahun enampuluhan angka perbandingan tersebut menjadi 1:5,4 (Dos Santos dalam Sritua Arief, 1998). Di Indonesia sendiri Sritua Arief dan Adi Sasono menghitung pada angka perbandingan 1:2 untuk tahun tujuhpuluhan dan menjadi 1:10 tahun 1999. Di dalam negeri sendiri, surplus yang diperoleh pengusaha lokal telah dibelanjakan secara konsumtif untuk barang-barang mewah. (1), (10)
Dari sisi alih teknologi pun tidak terjadi secara signifikan, oleh karena kehadiran industri yang didukung dengan hadirnya perusahaan-perusahaan asing (Multinational Corporation/ MNC) di negara berkembang tidak menempatkan negara berkembang sebagai tempat industri yang penting. Industrialisasi di negara berkembang ditopang dengan teknologi “usang” dan mesin-mesin yang sudah tidak efisien lagi untuk industri negara maju. Industri ini ditujukan untuk memproduksi barang-barang konsumsi dalam rangka kebijakan subtitusi impor yang pasarannya justru untuk negara berkembang.
Pemikir-pemikir strukturalis dunia ketiga meminta adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Campurtangan ini diperlukan, selain atas alasan penentangan sistem pasar bebas yang diutarakan di atas, karena model ekonomi klasik Adam Smith dan Ricardo, serta model neoklasik (competitive equilibrium model) yang tidak menghendaki campurtangan pemerintah gagal menjelaskan proses hubungan kelas dalam sistem ekonomi di negara berkembang. Menurut Sao, hubungan-hubungan ekonomi yang tidak kompetitif justru terjadi dengan adanya aliansi dari kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi, aliansi kelas borjuasi dengan kelas kapitalis asing serta aliansi kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kapitalis asing. Dengan campur tangan pemerintah, kaum strukturalis berpendapat bahwa massa rakyat dapat perlindungan untuk berkompetisi dengan baik.
Ekonom besar di luar kelompok strukturalis yang mendukung adanya intervensi pemerintah adalah John Maynard Keynes. Keynes dan para pengikutnya mendukung adanya campurtangan pemerintah dari sisi yang berbeda, yaitu bagaimana pemerintah memastikan terjadinya full employment dalam system ekonomi. Untuk itu pemerintah perlu memperbesar sisi penawaran (Demand side). Bank Dunia sendiri mendorong adanya campurtangan pemerintah, peran minimal adalah penyediaan barang-barang publik dan perlindungan si miskin dan peran aktif dapat mendorong kegiatan swasta dan redistribusi asset.
Dalam hal pengangguran, tingkat penganggguran di negara-negara berkembang sangat tinggi. Di Indonesia tingkat pengangguran mencapai angka 9,5% (2003) dan angka tersebut dapat mencapai 31 % jika dimasukkan pengangguran tidak terbuka dan setengah pengangguran. Besarnya tingkat pengangguran ini telah mengurangi daya tawar pekerja dan pencari kerja terhadap pemilik modal. Apa yang disebut Milton Friedman bahwa setiap pekerja ataupun pencari kerja pada dasarnya tidak dapat ditekan pengusaha sangat sulit dipahami dalam situasi over supply tenaga kerja tersebut. Apalagi di negara-negara berkembang, sistem jaminan sosial tidak berfungsi, sehingga keluar dari pekerjaan untuk mencari pekerjaan yang lain bukanlah pilihan yang mudah. Berbeda di negara-negara maju di mana memang supply demand tenaga kerja relative seimbang dan sistem jaminan sosial berlangsung baik. Hal ini membuat posisi tawar pekerja di negara maju terhadap pemilik modal sangat tinggi, di samping “law enforcement” mereka berjalan baik.
B. MODEL PEMBANGUNAN DESA TERPADU
Para pendiri Negara kita Republik Indonesia tercinta dengan segala pemahamannya tentang kondisi Tanah Air Indonesia yang terdiri beribu – ribu pulau dan suku bangsa dengan bijak menempatkan kondisi Desa sebagai unsur Pemerintah terdepan. Struktur Pemerintahan sedemikian rupa memiliki semangat untuk menjadikan Desa sebagai pilar utama pembangunan bangsa, logikanya bila sekitar 80.000 desa di bumi pertiwi ini maju, mandiri, sejahtrera dan demokratis maka menjelmalah Negara Kesatuan Indonesia menjadi bangsa yang besar dan terhormat dalam percaturan bangsa – bangsa di dunia.
Lain yang diharap lain pula kenyataannya, dengan pola sentralistik yang dikembangkan di masa lalu telah menempatkan desa menjadi “pelengkap penderita“ yang tidak berdaya segalanya ditentukan dari atas bahkan cenderung segala potensi yang dimilikinya lebih banyak menjadi “Upeti“ pada Pemerintah diatasnya. Desa tetap miskin bodoh dan abdi para pejabat diatasnya yang semakin rakus mengeksploitasi desa.
Setelah berjalan lama mulai tumbuh akan kesadaran akan kekeliruan tersebut terutama setelah terbukti bahwa pola sentralistik hanya menghasilkan koruptor-koruptor dan kesenjangan sosial yang tajam antara pusat, daerah dan desa. Reformasi pola ini dirombak total dimana pola desentralisasi yang ditinggalkan akan dipacu kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang semangatnya lebih berpihak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kesulitan berhimpun dalam rangka membangun posisi tawar bagi pemerintahan desa telah punah.
Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan Desa selalu bersipat top down dan sektoral dalam perencanaan serta implementasinya tidak terintegrasi, hal ini dapat dilihat dari program pemerintah pusat ( setiap departemen ) yang bersipat sektoral. Perencanaan disusun tanpa melibatkan sektor yang lain serta pemerintah daerah, hal lain yang menjadi permaslahan adalah tidak dicermatinya persoalan mendasar yang terjadi di daerah, sehingga formulasi strategi dan program menjadi tidak tepat.
Berkaitan dengan kemiskinan, sebagaimana terinformasikan dalam data statistik, ternyata sebagian besar masyarakat miskin berada di desa, oleh karena itu, pembangunan sudah sewajarnya difokuskan di ddesa sebagai upaya mengatasi kemiskinan, Pembangunan selama ini, lebih banyak di arahkan di kota, hal ini menyebabkan aktivitas perekonomian, berpusat di kota, hal inilah yang menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota. Masyarakat desa dengan segala keterbatasan pindah ke kota mengadu nasib dan sebagian besar dari mereka menjadi persoalan besar di kota.
Disisi lain, kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, peluang usaha juga rendah, sarana pendidikan terbatas, sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja, Kondisi ini menyebabkan tidak ada pilihan lain bagi masyarakat desa untuk merubah nasibnya, yaitu dengan merantau ke kota.
Pada kenyataannya, seluruh potensi sumber daya alam, sebagai raw material aktivitas penunjang perekonomian bisa dilaksanakan tanpa ada support bahan baku yang diproduksi di desa. Kondisi ini yang harus segera diselesaikan melalui strategi pembangunan desa yang tepat dan teritegrasi.
Fakta lain memperlihatkan ekploitasi sumber daya alam di desa secara besar besaran, dengan tidak mencermati daya dukung lingkungan serta tidak melibatkan masyarakat setempat, dengan alasan kemampuan rendah dari masyarakat setempat, menyebabkan kerusakan lingkungan, baik fisik maupun sosial. Kondisi lingkungan menjadi rusak, demikian juga terjadi trasformasi kultur secara negatif, sebagai akibat masuknya para pendatang baru yang menyebabkan strategi pembangunan dalam mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil apabila tidak diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutanyang secara sadar merubah pola konsumsi masyarakat dan cara-cara produksi yang tidak menunjang keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
C. MODEL PEMBANGUNAN EKONOMI ABAD KE-21
Banyak jalan ke Roma. Itulah pepatah lama. Namun, arah ke pembangunan ekonomi dalam abad ke-21 tampaknya cuma ada dua: Jalan Cina dan Jalan India. Keduanya berbeda dalam prinsip dan kebijakan.
Jalan yang ditempuh Cina, di bawah semboyan Selamat Datang Investasi Asing. Kalau tak percaya, datanglah ke pusat perbelanjaan Jakarta dan kota besar lain di. Hampir semua lapaknya dipenuhi barang Zhongguo Zhizao atawa Made in China. Gejala serupa juga terlihat pada produk komputer dan aksesorisnya.
Di AS, banjirnya barang impor dari Negeri di Tengah Dunia itu tercermin oleh Wall Mart, toko serbaada yang menyediakan keperluan untuk kaum kelas menengah ke bawah. Dan Wall Mart selalu ada di kota-kota paling kecil pun di negeri Paman Sam itu. Itu semua adalah akibat dari kebijakan Cina setelah mendiang Deng Xiaoping pada awal 1980-an memperkenalkan reformasi dan keterbukaan (gaige he kaifang). Lokomotif utama kebijakan itu adalah Foreign Direct Investment (FDI).
Membanjirnya produk Cina ke pasaran global merupakan akibat langsung dari kebijakan yang mengutamakan ekspor, dan itu juga sebaghai hasil dari FDI. Sejumlah perusahaan asing memproduksi barang ekspor, dan Cina menyediakan lahan, upah buruh yang relatif rendah, dan aturan bagi para pemodal Cina yang lebih kendor ketimbang di negara lain.
Akibat dari kebijakan itu di satu sisi sangat berhasil. Rata-rata laju perekonomian Cina berada di atas angka 8%/tahun. Dan itu terjadi terus-menerus dalam kurun waktu lebih dari 25 tahun terakhir ini. Namun, di sisi lain ada juga segi negatif. Sebegitu jauh belum banyak muncul perusahaan yang benar-benar nasional dan mampu bersaing dengan perusahaan multinasional di pasar global.
Belum lama ini Majalah Newsweek memuat tulisan tentang langkanya perusahaan nasional Cina yang tampil menonjol di tataran global. Itu, kata penulisnya, karena kebanyakan perusahaan Cina memproduksi barang tanpa label yang dijual di bawah label perusahaan pembelinya. Itulah plus-minus model pembangunan Cina. Para pakar ekonomi menyebut strategi pembangunan Cina sebagai pendekatan dari atas.
Ada lagi pembangunan ekonomi yang berseberangan dengan strategi Beijing. Itulah yang ditempuh India yang justru mendorong tumbuhnya perusahaan dan modal domestik. Itulah sebabnya, dibandingkan Cina, India kurang diminati pemodal asing, malahan para investor internasional sedikit ragu akan kesediaan dan kesiapan India menjalankan reformasi pasar.
Salah satu alasan mengapa Cina seakan menjadi gumpalan gula yang dikerumuni semut adalah faktor diaspora golongan etnis Cina. Jumlah mereka cukup besar, sekitar 55 juta dan tinggal di luar Cina. Banyak di antara mereka yang menjadi pengusaha konglomerat dan tertarik berinvestasi di negeri leluhur. Sebaliknya orang India perantauan jumlahnya hanya sekitar 20 juta, tak semakmur golongan etnis Cina perantauan.
Konon, hubungan antara orang India perantauan dengan tanah asal mereka kurang erat. Malahan mereka ini kurang disukai orang India yang tetap berdiam di India. Kalaupun ada yang menjadi pengusaha besar, mereka segan berinvestasi di negeri tempat tinggal nenek moyang mereka. Gejala ini masih berlangsung paling tidak sampai kini dengan kemungkinan akan berubah apabila pertumbuhan ekonomi India makin membumbung.
Karena dijauhi para investor asing, laju pertumbuhan ekonomi India sampai kini masih jauh di belakang Cina. Namun karena ketekunannya mendorong munculnya para investor domestik diperkirakan perekonomian India lebih kokoh daripada Cina dalam jangka panjang. Perkiraan ini dibuktikan ranking Forbes yang mendaftar 200 perusahaan kelas dunia pada 2002. Ke dalam daftar 200 besar itu tertera 13 perusahaan India yang dianggap mampu bersaing dengan perusahaan kaliber besar dari AS dan Uni Eropa. Hanya ada empat perusahaan Cina yang tertera dalam daftar itu.
Dilihat dari kacamata tataran ekonomi makro, kebijakan Cina mencerminkan perkembangan historis dan ideologis. Cina begitu berani mendatangkan modal asing, tapi sebaliknya menerapkan berbagai peraturan yang membatasi munculnya dan aktifnya investor domestik. Salah satu alasan utamanya adala kekhawatiran kalau kalau investor swasta itu menjadi pesaing BUMN, walaupun sebenarnya kinerja sejumlah perusahaan milik pemerintah itu kurang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Cina justru perusahaan asinglah yang mendapat keuntungan dan kemudahan dari reformasi. India justru sebaliknya.
Di tengah krisis global yang tengah melanda, diperkirakan bahwa India yang akan mampu bertahan. Sifat pembangunannya bagaikan mengikuti ajaran Mahatma Gandhi. Itulah swadeshi, atau berupaya dengan berdasarkan pada kemampuan sendiri. Cina di bawah Mao Zedong juga pernah mengomandokan “berdiri di atas kaki sendiri” dengan slogan Maois yang dikenal dengan nama zili gengsheng. Akhirnya, waktulah yang akan menentukan apakah “Model Cina” atau “Model India” yang lebih tangguh. Untuk sementara, jalur cepat untuk pembangunan ekonomi masih berada di tangan Cina.