Dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada
Jawa Timur. Bukan hanya penyelenggaraannya yang memakan biaya sekitar Rp 500
miliar, tetapi yang lebih mencengangkan adalah biaya sosialisasi, kampanye, dan
biaya pemenangan calon gubernur dan wakil gubernur itu. Dana untuk mendapatkan
dukungan tentu sangat banyak.
Pasangan Karsa mampu mengumpulkan dana kampanye sebesar Rp. 9.300.620.919
disusul pasangan Ka-Ji sebesar Rp. 5.350.000.000, pasangan SR Rp. 4 miliyar dan
pasangan SaLam sebesar Rp. 1,4 milyar.Dana kampanye pasangan Khofifah-Mudjiono
(Ka-Ji) dari sisi penerimaan dilaporkan berjumlah Rp. 5.350.000.000.
Berdasarkan klasifikasi penyumbang dibagi menjadi dua yaitu sumbangan dari
perorangan sebesar Rp. 2.900.000.000 dan sumbangan dari badan hukum sebesar Rp.
2.450.000.000. Sedangkan kalau berdasarkan bentuk barang terbagi menjadi dua
yaitu Rp. 5 milyar berupa uang dan Rp. 350 juta berupa barang.
Lalu bagaimana aliran ekonomi kelmbagaan
melihat fenomna seperti ini. Ekonomi kelmbagaan mempunyai 3 komponen yaitu
formal institution, informal institution dan enforcement mechanism. Pemilu dan
pilkada sendiri sudah memiliki aturan formal yang termaktub dalam beberapa
undang-undang dan peraturan pemerintah. Ketentuan mengenai transparansi
kampanye sendiri telah mengamanatkan hal ini dengan jelas. Misalnya, Pasal 129
UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang mengatur kewajiban
pembukuan khusus dana kampanye yang harus dilaporkan ke KPU. Selain itu, Pasal
134 UU Pemilu Legislatif itu juga mengatur kewajiban pelaporan awal dana
kampanye paling lambat tujuh hari sebelum hari pertama pelaksanaan kampanye
rapat umum.
Lebih jauh lagi, KPU pun lewat Peraturan
No 19/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu 2009 Pasal 64 juga
mengatur tentang pembukuan dana kampanye dan pencatatan sumbangan, bahwa
pembukuan harus dilakukan tiga hari setelah penetapan sebagai peserta pemilu.
Laporan dana yang masuk dan keluar juga harus dilaporkan ke Kantor Akuntan
Publik (KAP) yang telah ditunjuk KPU.
Apalagi ketentuan tentang transparansi dan
akuntabilitas dana kampanye juga dimandatkan UU No 2/2008 tentang Parpol; serta
nantinya dalam UU Pilpres. Dalam UU terkait tersebut bahkan diatur tentang
nominal batas sumbangan untuk kampanye parpol. Peraturan lain yang semakin
menguatkan kewajiban parpol untuk bersikap transparan adalah UU No 14/2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Pasal 1 Butir 3 dan Pasal 7 Ayat 1 dan
Ayat 2 UU KIP menyebutkan Badan Publik yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara, yang sumber dananya sebagian atau seluruhnya
berasal dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah, sepanjang dana
mereka sebagian maupun seluruhnya berasal dari APBN dan/atau APBD, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri berkewajiban untuk menyediakan, memberikan,
dan/atau menerbitkan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak
menyesatkan, yang berada di bawah kewenangannya, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, sangat
jelas bahwa parpol termasuk dari badan publik yang terkena oleh kewajiban
tersebut. Terlepas dari ada dan tidaknya pesta demokrasi, seperti pemilu dan
pilkada, terkait dengan pengumuman informasi publik secara berkala, sesuai
dengan mandat dalam Pasal 9 Ayat 1 dan Ayat 2 huruf c UU KIP ini, parpol
sesungguhnya berkewajiban untuk menjadi organisasi politik yang modern, profesional,
serta transparan, termasuk tentang informasi mengenai laporan keuangannya.
Sesuai pasal 65 dan 66 PP No.6/2005
setelah diumumkan kepada publik laporan dana kampanye dari masing-masing tim
pemenangan pasangan calon ini akan diberikan kepada kantor akuntan Basri dkk
selaku pemenang tender Tim Auditor dana kampanye Pilgub.“Dana kampanye yang
dilarang diterima oleh pasangan calon dan bisa menggugurkan statusnya sebagai
pasangan calon adalah berasal dari sumbangan luar negeri, dari dana APBN/APBD
atau BUMN/BUMD dan dari orang atau lembaga yang tidak jelas.
Berdasar aturan terbaru,
setiap parpol wajib mencatatkan seluruh pemasukan dan penggunaan dana kampanye.
Parpol juga dilarang menerima atau menggunakan sumbangan dana yang anonim. Dana
(anonim) itu nanti harus masuk kas negara karena tidak diketahui siapa yang
menyumbang. Terhadap dana yang sudah jelas namanya pun, KPU wajib mengawasi
pihak yang menyumbang parpol. Pengalaman 2004, salah satu parpol mendapatkan
sumbangan Rp 200 juta dari seorang pengusaha tempe. Karena pada 2004 tidak ada
aturan audit anggaran dana kampanye parpol, anggaran itu pun lolos tanpa pemeriksaan.
Saat audit nanti, KPU
rencananya bekerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Pusat
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, dalam kenyataannya tidak
selalu seperti yang diharapkan. Hal itu dapat dilihat dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya, misalnya, pada 2004 hanya 10 parpol yang
menyerahkan laporan keuangannya; lalu pada 2005 dan 2006 menjadi hanya sembilan
parpol yang menyerahkan laporan keuangan tahunannya. Padahal, UU Parpol No
31/2002 saat itu telah mewajibkan parpol yang telah mendaftarkan diri ke
Departemen Hukum dan HAM untuk menyerahkan laporan keuangannya setiap tahun ke
KPU. Kenyataan itu juga tidak lepas dari masih ringannya sanksi yang
diterapkan.
Dari sini tampak betapa masih
rendahnya disiplin dan profesionalisme parpol di Indonesia. Padahal, dalam
proses pendaftaran, parpol peserta pemilu bisa dikatakan 'lebih disiplin' demi
kepentingan menjadi peserta pemilu. Namun, sayangnya begitu ditetapkan menjadi
peserta pemilu, disiplin dan profesionalisme itu menurun serta digantikan oleh
pragmatisme karena merasa sudah lolos dan aman setelah KPU meloloskan parpol
menjadi peserta pemilu.
Sayangnya, kenyataan yang
terjadi telah menunjukkan meskipun sudah banyak peraturan perundang-undangan
yang mengatur kewajiban parpol untuk bersikap transparan, terlebih dengan
adanya UU KIP yang seharusnya momentum yang tepat untuk diterapkan secara
konsisten, hal itu tidak berjalan dengan semestinya.
Keterbukaan penggunaan dana
kampanye dinilai sebagai salah satu indikator kesiapan partai politik untuk
berkompetisi secara adil. Keberadaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) diharapkan dapat melacak carut-marut aliran dana kampanye,
meski sangat terbatas pada transaksi di dalam sistem keuangan. Keberadaan PPATK diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif
solusi melacak perputaran uang di sekitar kandidat, baik partai politik,
perseorangan di dewan perwakilan daerah, maupun nanti presiden. Enforcement
mechanism memang perlu untuk mngawal agar aturan formal dan/atau informal dapat
berjalan sesuai fungsi dan kedudukannya dalam mengatur masyarakat.