Secara luas, keuangan mikro (micro finance) didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan (Salam, 2002). Pengertian lain mendefinisikan keuangan mikro adalah jasa keuangan berupa penghimpunan dana dan pemberian pinjaman dalam jumlah kecil dan penyediaan jasa-jasa terkait, khususnya di tujukan untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (Peramu, 2005). Pada umumnya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) memberikan jasa keuangan dalam bentuk kredit, pinjaman, atau bentuk pembiayaan lain. Berkaiatan dengan hal tersebut LKM kemudian dapat mnghimpun dana masyarakat, bahkan pada banyak LKM, kegiatan penghimpunan dana (saving) menjadi prasarat bagi adanya layanan pembiayaan (kredit).
Jenis LKM sangat bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan dan informal LKM formal terdiri dari bank, yaitu Badan Kredit Desa (BKD), Bank Prekreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM formal non bank mencakup Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM informal terdiri dari berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) serta berbagai bentuk kelompok lainnya (Salam, 2002). Tabel 1 menunjukkan profil keuangan mikro di Indonesia.
Menurut Kusmulyono (2005), Profil kekuatan dan peranan LKM dapat dilihat dari jumlah LKM, volume pembiayaan yang disalurkan, serta mobilisasi dana simpanan yang dihimpun dari masyarakat. Dari data Bank Indonesia, peranan BRI Unit masih paling dominan, baik dari sisi pembiayaan maupun dari mobilisasi dana. Posisi per akhir Juli 2004, BRI Unt mampu menghimpun dana masyarakat sebesar Rp 32 triliun, sedangkan pembiayaan (kredit) mencapai Rp 17,3 triliun. Sementara BPR yang dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perkembangan cukup pesat, mampu menghimpun dana masyarakat sebesar 9,25 triliun, sedangkan untuk pembiayaan sebesar Rp 9,43 triliun (per Maret 2004). Sedangkan perusahaan pegadaian mampu mewujudkan dirinya sebagai lembaga formal nonbank yang paling tinggi dalam memberikan pembiayaan mencapaui Rp 8,8 triliun, dengan jumlah debitur terbanyak yaitu 14,3 juta nasabah (per Desember 2003).
Berdasarkan data Bank Indonesia, selain lembaga nonformal, seperti Baitul Maal wat-Tamwil (BMT), pendanaan yang cukup besar untuk keuangan mikro disediakan oleh program pemerintah pusat, di antaranya yang paling menonjol adalah Kukesra sebesar Rp 754 miliar (per Juni 2002), P2KP sebesar Rp 500 miliar (per September 2003), P4K sebesar Rp 394 miliar (per Mei 2002), PPK sebesar Rp 243 miliar (per Desember 2002), dan PEMP sebesar Rp 308 miliar. Program-program ini telah mempunyai jumlah debitur yang cukup besar. Misalnya, jumlah debitur Kukesra 10,3 juta, P2KP 3,2 juta, PKM 2,3 juta. Namun, dengan penyerahan berbagai program kepada inisiatif masyarakat setempat (IMS) serta adanya otonomi daerah, menyebabkan sulit mendapatkan data akurat dari perkembangan program saat ini, apakah program tersebut masih berjalan, terus berkembang, atau sudah berhenti. Selain itu, juga tidak tersedia data nasional mengenai kinerja keuangan mikro yang bersifat informal, seperti arisan, pinjam kepada tetangga, dan pinjaman kepada rentenir.
Jumlah kredit yang diberikan BPR pada 2003 meningkat hampir 150 persen dari 2000, meskipun jumlah debiturnya hanya bertambah 19,3 persen. Kenaikan jumlah kredit yang cukup tinggi terlihat juga pada perusahaan pegadaian, yaitu lebih dari 100 persen, sementara BRI meningkat sekitar 75 persen. Keadaan yang hampir sama juga terlihat dalam hal mobilisasi dana. Simpanan pada BPR meningkat lebih dari 185 persen, jauh lebih tinggi dibanding di BK3D yang hanya meningkat sebesar 68,6 persen, dan di BRI sebesar 45 persen. Keadaan ini terkait dengan program penyehatan LKM yang dilakukan oleh BI yang secara khusus melakukan pembinaan kepada BPR sebagai satu-satunya LKM formal bank yang diakui oleh BI. Sedangkan dalam hal dana yang berhasil dihimpun dan disalurkan, BRI menduduki ranking teratas.
Jenis LKM sangat bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan dan informal LKM formal terdiri dari bank, yaitu Badan Kredit Desa (BKD), Bank Prekreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM formal non bank mencakup Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM informal terdiri dari berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) serta berbagai bentuk kelompok lainnya (Salam, 2002). Tabel 1 menunjukkan profil keuangan mikro di Indonesia.
Menurut Kusmulyono (2005), Profil kekuatan dan peranan LKM dapat dilihat dari jumlah LKM, volume pembiayaan yang disalurkan, serta mobilisasi dana simpanan yang dihimpun dari masyarakat. Dari data Bank Indonesia, peranan BRI Unit masih paling dominan, baik dari sisi pembiayaan maupun dari mobilisasi dana. Posisi per akhir Juli 2004, BRI Unt mampu menghimpun dana masyarakat sebesar Rp 32 triliun, sedangkan pembiayaan (kredit) mencapai Rp 17,3 triliun. Sementara BPR yang dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perkembangan cukup pesat, mampu menghimpun dana masyarakat sebesar 9,25 triliun, sedangkan untuk pembiayaan sebesar Rp 9,43 triliun (per Maret 2004). Sedangkan perusahaan pegadaian mampu mewujudkan dirinya sebagai lembaga formal nonbank yang paling tinggi dalam memberikan pembiayaan mencapaui Rp 8,8 triliun, dengan jumlah debitur terbanyak yaitu 14,3 juta nasabah (per Desember 2003).
Berdasarkan data Bank Indonesia, selain lembaga nonformal, seperti Baitul Maal wat-Tamwil (BMT), pendanaan yang cukup besar untuk keuangan mikro disediakan oleh program pemerintah pusat, di antaranya yang paling menonjol adalah Kukesra sebesar Rp 754 miliar (per Juni 2002), P2KP sebesar Rp 500 miliar (per September 2003), P4K sebesar Rp 394 miliar (per Mei 2002), PPK sebesar Rp 243 miliar (per Desember 2002), dan PEMP sebesar Rp 308 miliar. Program-program ini telah mempunyai jumlah debitur yang cukup besar. Misalnya, jumlah debitur Kukesra 10,3 juta, P2KP 3,2 juta, PKM 2,3 juta. Namun, dengan penyerahan berbagai program kepada inisiatif masyarakat setempat (IMS) serta adanya otonomi daerah, menyebabkan sulit mendapatkan data akurat dari perkembangan program saat ini, apakah program tersebut masih berjalan, terus berkembang, atau sudah berhenti. Selain itu, juga tidak tersedia data nasional mengenai kinerja keuangan mikro yang bersifat informal, seperti arisan, pinjam kepada tetangga, dan pinjaman kepada rentenir.
Jumlah kredit yang diberikan BPR pada 2003 meningkat hampir 150 persen dari 2000, meskipun jumlah debiturnya hanya bertambah 19,3 persen. Kenaikan jumlah kredit yang cukup tinggi terlihat juga pada perusahaan pegadaian, yaitu lebih dari 100 persen, sementara BRI meningkat sekitar 75 persen. Keadaan yang hampir sama juga terlihat dalam hal mobilisasi dana. Simpanan pada BPR meningkat lebih dari 185 persen, jauh lebih tinggi dibanding di BK3D yang hanya meningkat sebesar 68,6 persen, dan di BRI sebesar 45 persen. Keadaan ini terkait dengan program penyehatan LKM yang dilakukan oleh BI yang secara khusus melakukan pembinaan kepada BPR sebagai satu-satunya LKM formal bank yang diakui oleh BI. Sedangkan dalam hal dana yang berhasil dihimpun dan disalurkan, BRI menduduki ranking teratas.