Asuransi syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Menurut Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/II/2002 tentang asuransi syariah, yaitu usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru/yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Jadi dasar dari didirikannya asuransi syariah adalah penghayatan terhadap semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, demi terciptanya kesejahteraan ummat dan masyarakat umumnya. Sebagai seorang Muslim, kita wajib percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas tidak terlepas dari qadha dan qadar Allah SWT terhadap hamba-hambanya. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya ”Dan tiada seorangpun dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya esok, dan tiada seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqman: 34).
Akan tetapi, kita tidak boleh pasrah dengan keadaan tersebut, kita harus berikhtiar dan berjaga-jaga untuk menjaga kemungkinan terjadinya bahaya dan malapetaka. Asuransi dalam hal ini bertujuan memperkecil adanya risiko yang ditimbulkan oleh bencana dan malapetaka tersebut.
Menurut Syeikh Abu Zahrah, dalam kitabnya ”al-Takaful al-Ijtima’i fi al-Islami (jaminan sosial dalam Islam), menjelaskan pengertian al-takafil ijtima’i adalah bahwa individu-individu masyarakat ada dalam jaminan atau tanggungan masyarakat mereka. Setiap orang yang mampu atau yang mempunyai kekuasaan menjadi penjamin dalam masyarakat atau yang membantu.
Mushthafa Al-Zarqa mendefinisikan asuransi sebagai sistem perikatan yang didasarkan atas negosiasi, tujuannya adalah kerja sama (tolong-menolong) untuk mengganti kerugian melalui lembaga tertentu yang melangsungkan transaksinya secara artistik berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah statistik.
Sementara itu, Faishal Al-Mawlawi mendefinisikan asuransi sebagai akad antara dua pihak yang salah satunya mengharuskan membayar kepada pihak kedua sejumlah uang untuk mengganti kerugian yang dideritanya disebabkan oleh suatu peristiwa sesuai dengan transaksi.
Pengertian Asuransi Konvensional
Di Indonesia, selain istilah asuransi digunakan juga istilah pertanggungan. Pemakaian kedua istilah tersebut mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan), kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Memang asuransi di Indonesia bermula dari negeri Belanda. Di Inggris digunakan istilah insurance dan assurance yang mempunyai pengertian yang sama. Istilah insurance digunakan untuk asuransi kerugian sedangkan istilah assurance digunakan untuk asuransi jiwa.
Banyak pengertian tentang asuransi konvensional. Menurut Robert I. Mehr, asuransi adalah a device for reducing risk by combining a sufficient number of expose units to make their individual losses collectively predictable. The predictable loss is then shared by or distributed proportionately among all units in combination (suatu alat untuk mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua unit-unit dalam gabungan tersebut).
Mark R. Greene mendefinisikan asuransi sebagai an economic institution that reduces risk by combining under one management and group of objects so situated that the aggregate accidental losses to which the group is subject become predictable within narrow limits (institusi ekonomi yang mengurangi risiko dengan menggabungkan di bawah satu manajemen dan kelompok objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar yang terjadi yang diderita oleh suatu kelompok tesebut dapat diprediksi dalam lingkup yang lebih kecil). Sedangkan, C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins melihat asuransi dari dua sudut pandang. Pertama adalah insurance is the protection against financial loss by an insurer (asuransi adalah perlindungan terhadap risiko financial oleh penaggung). Sedangkan, kedua adalah insurance is a device by means of which the risks of two or more persons or firms are combined through actual or promised contributions to a fund out of which claimants are paid (asuransi adalah alat yang mana risiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk membayar klaim.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asuransi adalah pertanggungan atau perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberi iuran, pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran itu, apabila terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Senada dengan pengertian tersebut, Ensiklopedi Indonesia menjelaskan bahwa asuransi adalah jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung (misalnya kantor asuransi) kepada tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan, dan sebagainya ataupun mengalami kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 246 disebutkan: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena satu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Sementara itu, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dengan demikian, asuransi merupakan alat sosial-ekonomi yang berfungsi mengalihkan risiko-risiko pribadi atau badan kepada semua anggota kelompoknya dengan memanfaatkan dana yang dikumpulkan bersama dari kelompok tersebut untuk membayar kerugian yang dialami oleh pribadi dalam hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian atas dasar suka rela.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa asuransi itu mengandung tiga unsur utama yang bertransaksi dan terikat oleh suatu akad (perjanjian) dan kesepakatan, yaitu: pertama, pihak tertanggung yang berjanji akan membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan cara diangsur. Kedua, pihak penanggung yang berjanji akan membayar sejumlah uang atau mengganti dengan barang tertentu senilai yang dijanjikan kepada pihak tertanggung sekaligus atau diangsur apabila ada unsur ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum jelas terjadi, dan jenis peristiwa itu disepakati oleh kedua belah pihak.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa praktek asuransi yang demikian hukumnya haram menurut Islam, karena:
1. Akad
Hubungan antara perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri dalam perjanjian mudharabah dengan hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian. Berbeda dengan asuransi konvensional hubungan antar peserta asuransi dibangun dengan semangat saling menanggung (takaful), bukan berdasarkan akad pertukaran (tadabbuli).
Konsep al-mudharabah yang diterapkan dalam asuransi syariah mempunyai tiga unsur, yaitu:
Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan ke dalam proyek-proyek dalam bentuk; musyarakah, murabahah, dan wadi’ah yang dihalalkan syariat Islam.
Perjanjian antara peserta dan perusahaan asuransi berbntuk perkongsian untuk bersama-sama menanggung risiko usaha dengan prinsip bagi hasil yang porsinya masing-masing telah disepakati bersama.
Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi ditetapkan bahwa sebelum bagian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dan investasi, terlebih dahulu diselesaikan klaim manfaat takaful dari para peserta yang mengalami kerugian atau musibah.
Tata Cara Pengelolaan atau Investasinya tidak Boleh Bertentangan dengan Syariat Islam
a. Gharar (ketidakjelasan transaksi).
Menurut mazhab Syafi’i gharar adalah apa-apa yang diakibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti. Menurut Ibn Qayyim, gharar adalah sesuatu yang tidak bisa diukur penerimanya, baik barang itu ada maupun tidak ada seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta liar meskipun ada.
Diharamkannya asuransi konvensional karena ketidakjelasan ma’kud alaih (sesuatu yang diakadkan) yang meliputi hal-hal yang tidak diketahui secara pasti berapa yang diperoleh (ada ataupun tidak ada, besar maupun kecil), tidak diketahui berapa yang dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita akan mampu membayarnya. Hal-hal seperti itulah yang diharamkan oleh jumhur (mayoritas) ulama bahwa akad jual beli (aqad tadabubuli) ataupun akad pertukaran harta benda (akad mu’awaathun maliyatun) dalam praktik asuransi konvensional.
Sebagai contoh: Apabila terjadi klaim, seperti asuransi yang diambil sepuluh tahun dan pembayaran premi sebesar Rp 1.500.00/tahun, kemudian pada tahun kelima dia meninggal dunia, maka pertanggungan diberikan sebesar Rp 15.000.000. Hal ini berarti uang Rp 7.500.000 yang bukan merupakan cicilan premi selama lima tahun adalah gharar dan tidak jelas dari mana asalnya. Berbeda dengan asuransi syariah (takaful) sejak awal polis dibuka, sudah diniatkan 95% premi tabungan dan 5% diniatkan untuk dana tabarru’ (kebijakan, derma/tabungan).
b. Maysir (judi/untung-untungan)
Dalam Al-Qur’an disebutkan secara jelas dan tegas dalam surat al-Maidah:90:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maysir, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keuntungan.”
Mekanisme asuransi konvensional melahirkan konsep maysir sebagai akibat dari adanya gharar. Wahbah Zuhaili menyimpulkan bahwa transaksi yang mengandung unsur gharar adalah transaksi jual beli yang mengandung usnsur gharar adalah transaksi jual beli yang mengandung risiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta. Faktor risiko inilah yang ada dalam asuransi konvensional yang menyebabkan mengandung unsur maysir.
Dalam asuransi konvensional, maysir dapat timbul karena ada dua hal:
Sekiranya seseorang memiliki satu premi, ada kemungkinan dia berhenti karena alasan tertentu. Apabila berhenti di jalan sebelum mencapai refreshing period, dia bisa menerima uangnya kembali kira-kira sebesar 20% dan selebihnya hangus.
Apabila perhitungan kematian tepat dan menentukan jumlah polis yang tepat, maka perusahaan akan untung, tetapi jika salah dalam perhitungan maka perusahaan akan rugi.
Dalam asuransi syariah, meski penerima polis belum mencapai refreshing period sekalipun, bila ia ingin mengambil dananya dikarenakan sesuatu hal, maka itu diperbolehkan karena perusahaan asuransi dalam hal ini adalah sebagai pemegang saham.
c. Riba
Salah satu tujuan didirikannya asuransi syariah adalah dalam rangka menghindari praktik riba yang ada dalam asuransi konvensional, dimana dalam menginvestasikan dananya dengan menggunakan mekanisme bunga. Dengan demikian, asuransi ini sangat sulit untuk menghindari praktik riba. Riba dalam Islam adalah setiap tambahan yang diperoleh dari setiap transaksi tanpa ada imbalan atau ganti. Menurut Imam Sarakhsi, Qatadah, dan Raghib al-Ashfani, riba adalah segala sesuatu yang mengandung tiga unsur, yaitu: (a) kelebihan dari pokok pinjaman, (b) kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, (c) jumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.
Perbedaan Prinsip Asuransi Syariah dan Konvensional
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal:
1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru' (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
6. Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Dalam setiap kegiatan muamalah, termasuk asuransi, tata cara dan operasinya harus berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip tersebut tidak boleh dilanggar, oleh karenanya salah satu ketentuan Al-Quran dan hadis Nabi yang menjadi landasan setiap kegiatan yang bersifat muamalah harus menghilangkan unsur-unsur berikut, yaitu gharar, maysir, dan riba. Sebagai gantinya, Islam selalu menekankan setiap bentuk usaha san investasi pada aspek keadilan, suka sama suka, dan kebersamaan dalam menghadapi setiap risiko.
Jadi dasar dari didirikannya asuransi syariah adalah penghayatan terhadap semangat saling bertanggung jawab, kerjasama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, demi terciptanya kesejahteraan ummat dan masyarakat umumnya. Sebagai seorang Muslim, kita wajib percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di atas tidak terlepas dari qadha dan qadar Allah SWT terhadap hamba-hambanya. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya ”Dan tiada seorangpun dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya esok, dan tiada seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Luqman: 34).
Akan tetapi, kita tidak boleh pasrah dengan keadaan tersebut, kita harus berikhtiar dan berjaga-jaga untuk menjaga kemungkinan terjadinya bahaya dan malapetaka. Asuransi dalam hal ini bertujuan memperkecil adanya risiko yang ditimbulkan oleh bencana dan malapetaka tersebut.
Menurut Syeikh Abu Zahrah, dalam kitabnya ”al-Takaful al-Ijtima’i fi al-Islami (jaminan sosial dalam Islam), menjelaskan pengertian al-takafil ijtima’i adalah bahwa individu-individu masyarakat ada dalam jaminan atau tanggungan masyarakat mereka. Setiap orang yang mampu atau yang mempunyai kekuasaan menjadi penjamin dalam masyarakat atau yang membantu.
Mushthafa Al-Zarqa mendefinisikan asuransi sebagai sistem perikatan yang didasarkan atas negosiasi, tujuannya adalah kerja sama (tolong-menolong) untuk mengganti kerugian melalui lembaga tertentu yang melangsungkan transaksinya secara artistik berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah statistik.
Sementara itu, Faishal Al-Mawlawi mendefinisikan asuransi sebagai akad antara dua pihak yang salah satunya mengharuskan membayar kepada pihak kedua sejumlah uang untuk mengganti kerugian yang dideritanya disebabkan oleh suatu peristiwa sesuai dengan transaksi.
Pengertian Asuransi Konvensional
Di Indonesia, selain istilah asuransi digunakan juga istilah pertanggungan. Pemakaian kedua istilah tersebut mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan), kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Memang asuransi di Indonesia bermula dari negeri Belanda. Di Inggris digunakan istilah insurance dan assurance yang mempunyai pengertian yang sama. Istilah insurance digunakan untuk asuransi kerugian sedangkan istilah assurance digunakan untuk asuransi jiwa.
Banyak pengertian tentang asuransi konvensional. Menurut Robert I. Mehr, asuransi adalah a device for reducing risk by combining a sufficient number of expose units to make their individual losses collectively predictable. The predictable loss is then shared by or distributed proportionately among all units in combination (suatu alat untuk mengurangi risiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua unit-unit dalam gabungan tersebut).
Mark R. Greene mendefinisikan asuransi sebagai an economic institution that reduces risk by combining under one management and group of objects so situated that the aggregate accidental losses to which the group is subject become predictable within narrow limits (institusi ekonomi yang mengurangi risiko dengan menggabungkan di bawah satu manajemen dan kelompok objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar yang terjadi yang diderita oleh suatu kelompok tesebut dapat diprediksi dalam lingkup yang lebih kecil). Sedangkan, C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins melihat asuransi dari dua sudut pandang. Pertama adalah insurance is the protection against financial loss by an insurer (asuransi adalah perlindungan terhadap risiko financial oleh penaggung). Sedangkan, kedua adalah insurance is a device by means of which the risks of two or more persons or firms are combined through actual or promised contributions to a fund out of which claimants are paid (asuransi adalah alat yang mana risiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk membayar klaim.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asuransi adalah pertanggungan atau perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberi iuran, pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran itu, apabila terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang diasuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Senada dengan pengertian tersebut, Ensiklopedi Indonesia menjelaskan bahwa asuransi adalah jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung (misalnya kantor asuransi) kepada tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan, dan sebagainya ataupun mengalami kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 246 disebutkan: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena satu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Sementara itu, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin ada di antara tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dengan demikian, asuransi merupakan alat sosial-ekonomi yang berfungsi mengalihkan risiko-risiko pribadi atau badan kepada semua anggota kelompoknya dengan memanfaatkan dana yang dikumpulkan bersama dari kelompok tersebut untuk membayar kerugian yang dialami oleh pribadi dalam hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian atas dasar suka rela.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa asuransi itu mengandung tiga unsur utama yang bertransaksi dan terikat oleh suatu akad (perjanjian) dan kesepakatan, yaitu: pertama, pihak tertanggung yang berjanji akan membayar premi kepada pihak penanggung sekaligus atau dengan cara diangsur. Kedua, pihak penanggung yang berjanji akan membayar sejumlah uang atau mengganti dengan barang tertentu senilai yang dijanjikan kepada pihak tertanggung sekaligus atau diangsur apabila ada unsur ketiga. Ketiga, suatu peristiwa yang belum jelas terjadi, dan jenis peristiwa itu disepakati oleh kedua belah pihak.
Mayoritas ulama mengatakan bahwa praktek asuransi yang demikian hukumnya haram menurut Islam, karena:
- Adanya unsur gharar, yaitu unsur ketidakpastian tentang hak pemegang polis dan sumber dana yang dipakai untuk menutup klaim.
- Adanya unsur maysir, yaitu unsur judi karena dimungkinkan ada pihak yang diuntungkan di atas kerugian orang lain.
- Adanya unsur riba, yaitu diperolehnya pendapatan dari membungakan
1. Akad
Hubungan antara perusahaan takaful dan peserta mengikatkan diri dalam perjanjian mudharabah dengan hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian. Berbeda dengan asuransi konvensional hubungan antar peserta asuransi dibangun dengan semangat saling menanggung (takaful), bukan berdasarkan akad pertukaran (tadabbuli).
Konsep al-mudharabah yang diterapkan dalam asuransi syariah mempunyai tiga unsur, yaitu:
Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi, perusahaan diamanahkan untuk menginvestasikan dan mengusahakan pembiayaan ke dalam proyek-proyek dalam bentuk; musyarakah, murabahah, dan wadi’ah yang dihalalkan syariat Islam.
Perjanjian antara peserta dan perusahaan asuransi berbntuk perkongsian untuk bersama-sama menanggung risiko usaha dengan prinsip bagi hasil yang porsinya masing-masing telah disepakati bersama.
Dalam perjanjian antara peserta dengan perusahaan asuransi ditetapkan bahwa sebelum bagian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dan investasi, terlebih dahulu diselesaikan klaim manfaat takaful dari para peserta yang mengalami kerugian atau musibah.
Tata Cara Pengelolaan atau Investasinya tidak Boleh Bertentangan dengan Syariat Islam
a. Gharar (ketidakjelasan transaksi).
Menurut mazhab Syafi’i gharar adalah apa-apa yang diakibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti. Menurut Ibn Qayyim, gharar adalah sesuatu yang tidak bisa diukur penerimanya, baik barang itu ada maupun tidak ada seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta liar meskipun ada.
Diharamkannya asuransi konvensional karena ketidakjelasan ma’kud alaih (sesuatu yang diakadkan) yang meliputi hal-hal yang tidak diketahui secara pasti berapa yang diperoleh (ada ataupun tidak ada, besar maupun kecil), tidak diketahui berapa yang dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita akan mampu membayarnya. Hal-hal seperti itulah yang diharamkan oleh jumhur (mayoritas) ulama bahwa akad jual beli (aqad tadabubuli) ataupun akad pertukaran harta benda (akad mu’awaathun maliyatun) dalam praktik asuransi konvensional.
Sebagai contoh: Apabila terjadi klaim, seperti asuransi yang diambil sepuluh tahun dan pembayaran premi sebesar Rp 1.500.00/tahun, kemudian pada tahun kelima dia meninggal dunia, maka pertanggungan diberikan sebesar Rp 15.000.000. Hal ini berarti uang Rp 7.500.000 yang bukan merupakan cicilan premi selama lima tahun adalah gharar dan tidak jelas dari mana asalnya. Berbeda dengan asuransi syariah (takaful) sejak awal polis dibuka, sudah diniatkan 95% premi tabungan dan 5% diniatkan untuk dana tabarru’ (kebijakan, derma/tabungan).
b. Maysir (judi/untung-untungan)
Dalam Al-Qur’an disebutkan secara jelas dan tegas dalam surat al-Maidah:90:
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maysir, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keuntungan.”
Mekanisme asuransi konvensional melahirkan konsep maysir sebagai akibat dari adanya gharar. Wahbah Zuhaili menyimpulkan bahwa transaksi yang mengandung unsur gharar adalah transaksi jual beli yang mengandung usnsur gharar adalah transaksi jual beli yang mengandung risiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta. Faktor risiko inilah yang ada dalam asuransi konvensional yang menyebabkan mengandung unsur maysir.
Dalam asuransi konvensional, maysir dapat timbul karena ada dua hal:
Sekiranya seseorang memiliki satu premi, ada kemungkinan dia berhenti karena alasan tertentu. Apabila berhenti di jalan sebelum mencapai refreshing period, dia bisa menerima uangnya kembali kira-kira sebesar 20% dan selebihnya hangus.
Apabila perhitungan kematian tepat dan menentukan jumlah polis yang tepat, maka perusahaan akan untung, tetapi jika salah dalam perhitungan maka perusahaan akan rugi.
Dalam asuransi syariah, meski penerima polis belum mencapai refreshing period sekalipun, bila ia ingin mengambil dananya dikarenakan sesuatu hal, maka itu diperbolehkan karena perusahaan asuransi dalam hal ini adalah sebagai pemegang saham.
c. Riba
Salah satu tujuan didirikannya asuransi syariah adalah dalam rangka menghindari praktik riba yang ada dalam asuransi konvensional, dimana dalam menginvestasikan dananya dengan menggunakan mekanisme bunga. Dengan demikian, asuransi ini sangat sulit untuk menghindari praktik riba. Riba dalam Islam adalah setiap tambahan yang diperoleh dari setiap transaksi tanpa ada imbalan atau ganti. Menurut Imam Sarakhsi, Qatadah, dan Raghib al-Ashfani, riba adalah segala sesuatu yang mengandung tiga unsur, yaitu: (a) kelebihan dari pokok pinjaman, (b) kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran, (c) jumlah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.
Perbedaan Prinsip Asuransi Syariah dan Konvensional
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal:
1. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
2. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
3. Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
4. Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru' (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
5. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
6. Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Dalam setiap kegiatan muamalah, termasuk asuransi, tata cara dan operasinya harus berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Prinsip-prinsip tersebut tidak boleh dilanggar, oleh karenanya salah satu ketentuan Al-Quran dan hadis Nabi yang menjadi landasan setiap kegiatan yang bersifat muamalah harus menghilangkan unsur-unsur berikut, yaitu gharar, maysir, dan riba. Sebagai gantinya, Islam selalu menekankan setiap bentuk usaha san investasi pada aspek keadilan, suka sama suka, dan kebersamaan dalam menghadapi setiap risiko.