Sabtu, 12 Juni 2010

Optimalisasi BMT sebagai LKS Penggerak Kewirausahaan

Tinjauan Historis dan Konsep Ideal BMT di zaman Rasulullah

Menurut teori kepemilikan: perspektif islam, pemilikan harta itu dibagi dua yaitu pemilikan pribadi (personal ownership/ milkiyah fardiyah) kedua pemilikan umum ( public ownership/ milikiyah ammah). Apa saja harta akan dibagi dalam dua bentuk kepemilikan ini. Dalam mengoperasikan keuangan, mana saja negara didunia ini akan memerlukan lembaga. Lembaga ini akan terbagi dua pertama lembaga keuangan yang mengendalikan keuangan untuk kepentingan umum dan menjadi milik umum atau masyarakat (public finance) dan ada lembaga keuangan yang mengendalikan kepentingan perorangan baik untuk berinvestasi ataupun untuk mendapat fasilitas keuangan dalam menjalankan bisnis atau keperluan pribadi. Dari zaman Rasulullah, khulafaur Rosyidin, Daulah bani umayyah di siria sampai daulah bani usmaniyah di turki yang paling menonjol adalah BMT. Uang ini mereka gunakan untuk membangun negara, baik pendidikan, teknologi, dan sebagainya. Adapun masalah keuangan pribadi atau personal finance berjalan apa adanya antar pribadi dalam masyarakat, negara tidak mencampurinya.(Modal, 11 November 2003).

Di akhir kekhalifahan Abu Bakar ra. harta yang dimiliki kaum muslimin sangat melimpah. Hal itulah yang mendorong Abu bakar menjadikan rumahnya sebagai tempat pengumpulan dan penyimpanan harta negara yang kemudian akam dialokasikan pada orang yang membutuhkan. Umar bin khathab ra merupakan konseptor pertama dalam pembetukan baitul mal sebagai institusi penyimpanan dan pengalokasian harta kekayaan kaum muslimin dalam pengertian yang luas. (yusuf ibrahim yusuf dalam Marthon: 2004 )

Menelaah Implementasi BMT Pada Saat Ini

Sebuah BMT dapat bermula dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang tidak berbadan hukum formal. Sedangkan dari sisi modal pendiriannya, PINBUK, salah satu lembaga pendamping BMT, hanya mensyaratkan modal awal lima juta rupiah. Akan tetapi, jumlah BMT sebanyak ini ternyata baru mampu melayani sekitar 330.000 pengusaha kecil atau mikro saja (Timberg dalam Widyaningrum, 2002: 4) Dengan adanya pakto (paket kebijakan Oktober 1988) telah membuka peluang bagi tumbuhnya bank-bank baru serta pembukaan kantor cabang dari bank yang telah ada dengan menetapkan modal disetor 10 milliar rupiah untuk bank swasta dan modal minimum 50 juta rupiah untuk pendirian BPR baru (indef, 1990:50-51). Akibat dari kebijakan ini adalah menjamurnya bank-bank dan BPR-BPR baru. Berbagai distorsi yang muncul dalam pakto tersebut kemudian dicoba direvisi dengan paket kebijakan januari 1990 yang antara lain mewajibkan perbankan menyalurkan 20 % dari total portofolio kreditnya bagi usaha kecil. Ketentuan ini dirasakan berat oleh dunia perbankan di Indonesia yang tidak berpengalaman dalam penyaluran kredit kecil kecuali BRI dan BUKOPIN. (Widyaningrum: 2002)

Sebenarnya BMT telah dikenal sejak awal tahun 80an dengan berdirinya Baitul tamwil Teknosa di Bandung dan BT Ridho Gusti di Jakarta, namun keduanya tidak sempat berkembang (Peramu dalam Widyaningrum: 2002). Lembaga keuangan Mikro (LKM) di Indonesia telah membuktikan bahwa dapat tumbuh dan berkembang dimasyarakat serta melayani usaha mikro dan kecil, diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UMKM), mandiri dan mengakar di masyarakat, jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas, berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat, memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi oleh para anggotanya (tanpa agunan), membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin, mengurangi berkembangnya pelepas uang (money lenders), membantu menggerakkan usaha produktif masyarakat, LKM dimiliki sendiri oleh nmasyrakat sehingga setiap surplus yang dihasilkan oleh LKM bukan bank dapat kembali dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.

Setiap BMT mencoba untuk mensosialisasikan dan mengembangkan usahanya. Upaya mensosialisasikan BMT ini, seperti dilakukan oleh BMT Al azhar yang berdiri sejak 26 Agustus 1995 adalah setelah siswa SD Al Azhar pulang sekolah ,mereka tidak langsung pulang kerumah tapi langsung ke BMT unuk menyetorkan sisa uang saku mereka. BMT ini menyediakan jasa pelayanan mereka ke juga ke sekitar warga Pasar minggu, Depok, Cipayung, Ciputat. Dengan produk pembiayaannya Mudharobah, Murahbahah, dan Qardhul hasan mereka membiayai homre industri, warung-warung makan, percetakan dan foto kopi. Pembiayaan Qordhul hasan ini utntuk membiayai korban bencana alam, ,kecelakaan, dan kaum dhuafa yng membutuhkan.( Modal: 11 September 2003) BMT bina Dhuafa Beringharjo mensosialisasikan diri dengan peran pengurus mendekati pedagang di waku dzuhur dan ashar berbicara tentang BMT dan produk yang ditawarkan. BMT ini melakukan biaya pendidikan, pembinaan skill unrtuk siswa, TPA,dll. Pembiayaan sosial, layanan sosial, Beasiswa, GEPERA (Gerakan pemberdayaan Umat) (Modal,11 Desember 2003)

BMT Muamalat mengeluarkan program Dinar BMT dengan tujuan mengenalkan instrumen keuangan yang digunakan zaman Rasulullah, Memberdayakan produktivitas uamat islam karena emas memiliki nilai intrinsik yang jauh lebih pasti, jadi nilai emas tidak turun sebagai inspirasi masyarakat untuk investasi. Konsep bagi hasil dalam akad kerja sama (musyarokah atau mudharabah) yang mensyaratkan pemlik modal menanggung kerugian merupakan konsep paling memungkinkan masuknya bentuk dampingan lain diluar modal. BMT sebagai penanam modal, berkepentingan agar dana yang dipinjamkannya dapat kembali dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan sistim bunga . Oleh karena itu, BMT dapat melakukan intervensi misalnya dalam hal pembenahan manajemen agar usaha nasabahnya lancar dan bisa mendapatkan untung besar , dengan demikian BMT juga akan mendapatkan bagi hasil yang besar juga dengan koin dinar emas. (Modal ,11 Januari 2004)

BMT pertama yang masih ada saat ini adalah BMT Insan Bina Kamil yang berdiri pada awal tahun 1992. BMT, dengan bentuk institusi informal (dalam bentuk kelompok swadaya masyarakat) maupun formal dengan bentuk hukum koperasi , lebih mudah menjangkau pengusaha kecil. Statusnya sebagai lembaga keuangan non bank melepaskan BMT dari kewajiban-kewajiban perbankan.(Widyaningrum, 2003: 45)Potensi pengembangan lembaga keuangan mikro adalah masih luas karena usaha mikro dan kecil belum seluruhnya dapat dilayani atau dijangkau oleh layanan LKM yang ada, LKM berada ditengah masyrakat, adapun potensi menabung oleh masyarakat karena rendahnya penyerapan investasi diderah,terutama dipedesaan, dukungan dari lembaga dalam negeri dan internasional yang cukup kuat. Segmentasi pasar lembaga keuangan mikro pada umumnya adalah kelompok usaha mikro yang dianggap oleh bank tidak memiliki persyaratan yang memadai, tidak memiliki agunan yang cukup, biaya transaksinya mahal/ tinggi, lokasi kelompok miskin tidak berada dalam jangkauan kantor cabangnya.

Optimalisasi Peran BMT dalam Mengembangkan Kewirausahaan

Menurut Sutrisno dalam Al- Idrus (2005) kedudukan UMKM dalam perekonomian Indonesia paling tidak dapat dilihat dari kedudukannya sebagai pelaku utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor, penyedia lapangan kerja yang besar, dan pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pmberdayaan masyarakat.Mengingat pentingnya peran UMKM tersebut maka perlu dicarikan solusi yang dapat mempercepat gerak UMKM agar dapat menjadi penyangga perekonomian nasional. BMT yang merupakan lembaga keuangan berusaha untuk membantu mengembangkan BMT khususnya dalam pembiaayaan UMKM yang masih sedikit tersentuh oleh lembaga keuangan lainnya.

BMT dalam perkembangannya sejauh ini dipandang belum sepenuhnya mampu menjawab problem real ekonomi yang ada dikalangan masyrakat, karena masalah SDM yang belum terdidik dan profesional, manajemen SDM dan pengembangan budaya ser ta jiwa wirausaha(enterpreneurship) modal tingkat kepercayaan yang rendah dari masyrkat, belunm ada rumusan flatform yang sempurna unruk mengembangkan LKS. (Pikiran Rakyat,29 November2004) Untuk mencapai tujuan peningkatan investasi atau penggunaan modal untuk proses nilai tambah 2 langkah yang harus ditempuh yaitu: memperbaiki akses UKM terhadap fasilitas pembiayaan yang telah disediakan. Pada kelompok penyedia kredit mikro yang berskala kecil perlu pengembangan jaringan kelembagaan agar efektif dlam pelayanan Usaha mikro sering digambarkan sebagai kelompok yang kemampuan permodalan UKM rendah. Rendahnya akses UKM terhadap lembaga keuangan formal sehingga hanya 12% UKM akses terhadap kredit bank karena: produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UKM, adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit UKM, Biaya transaksi kredit UKM relatif tinggi, persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan,proposal, terbatasnya akses UKM terhadap pembiayaan equity, Monitoring dan koleksi kredit UKM tidak efisien, Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri sehingga biya pelayanan UKM mahal, Bank umumnya belum terbiasa denagn pembiayan kepada UKM. Secara singkat kredit perbankan diselenggarakan atas pertimbangan komersial membuat UKM sulit memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama soal agunan dan persyaratan administratif lainnya.

Pada saat ini, BMT menghadapi tantangan yang cukup menantang dalam mengembangkan kewirausahaan diantaranya yaitu:
1. Masih rendahnya paradigma berpikir serta respon masyarakat terhadap sistem syariah. Hal ini bisa kita lihat dari hasil penelitian studi kasus pada BMT dampingan yayasan Peramu bogor.
Widyaningrum (2002: vi)melakukan percobaan dengan hasil sebagai berikut:
Sebanyak 61 responden (41%) menyatakan hanya tahu sedikit tentang sistem syariah, & 71responden (47%) menyatakan tidak tahu dan hanya 18(12%) yang menyatakan tahu tentang sistem BMT. Kurang pedulinya mitra terhadap sistem syariah dibandingkan dengan sistem bunga terlihat dari alasan mereka memilih BMT, yang mendominasi adalah alasan kemudahan dalam prosedur, keringanan persyaratan, cepatnya pelayanan, dan sisem "jemput bola" yang dilakukan BMT. Hanya 10% dari total responden yang secara tegas menyebutkan alasan agama. Responden inilah yang mengetahui esensi perbedaan sistem bunga dan sistem bagi hasil.

2. BMT masih memiliki keterbatasan kinerja dalam menjangkau para nasabah pengusaha kecil dan mikro.
3. Sementara keluhan yang paling banyak diajukan oleh responden adalah plafon maksimal pinjaman masih kecil sera pinjaman yang dicairkan lebih kecil dari yang diajukan.
4. Keluhan lainnya adalah ratio bagi hasil atau mark up. Menurut responden, ratio bagi hasil atau mark up yang harus di serahkan ke BMT terlalu besar bahkan bisa lebih besar dari angsuran pinjaman dan bunganya ke bank. Keluhan ini setidaknya menunjukan bahwa pemahaman mitra terhadap sistem bagi hasil tidak sama dengan pemahaman BMT. (Widyaningrum: 2002)

Sedangkan prospek atau peluang yang dapat digunakan oleh BMT dalam mengembangkan kewirausahaan adalah:
1. Pemilihan Sistem Ekonomi islam dalam penerapan BMT, membawa dampak :
Lebih sesuai dengan keyakinan dan budaya masyarakat lapisan bawah yang mayoritas beragama islam.
Lebih berkeadilan dibandingkan dengan yang menggunakan bunga.
Memiliki keunggulan untuk mendukung gerakan pemberdayaan ,antara lain: menumbuhkan kejujuran dan keterbukaan, menumbuhkan kemampuan menganalisis saha, membudaya musyawarah, menumbuhkan kesadaran akan posisi tawar, melatih mengeluarkan pendapat
Bagi masyarakat lapis bawah yang mayoritas beragama islam, bekerjasama dengan suatu sistem yang diyakininya akan mempuk dan mendorong spiritualitasnya sehingga bermafaat dunia dan akhirat
Sistem syariah lebih tahan kritis.( Widyaningrum, 2002: 48 )
2. BMT bukan bank, sehingga lebih fleksibel karena tidak terikat degan persyaratan teknis perbankan.
3. BMT memadukan fungsi ekonomi dan sosial , sehingga selain memacu pertumbuhan dan pemerataan , juga tetap memelihara solidaritas di antara anggota.
4. Terbuka untuk semua kelompok masyarakat
5. Memberikan pelayanan yang relatif lebih mudah dan lebih cepat
6. Respon Masyarakat Terhadap BMT yang cukup baik.

Widyaningrum ( 2002: vi) melakukan percobaan dengan hasil sebagai berikut:
Mayoritas mitra menyatakan tidak pernah mendapatkan kesulitan memenuhi prosedur pembiayaan di BMT. Dari persyaratan surat menyurat 92,7% responden menyatakan tidak pernah mengalami kesulitan, 94% responden merasa tidak pernah kesulitan memenuhi persyaratan jaminan. Kemudahan prosedur dan persyaratan juga dirasakan terutama ketika mitra mengalami kemacetan pembayaran.

7. Dari sisi waktu penyelesaian proses pinjaman mulai dari permohonan diajukan sampai pencairan, BMT relaif cepat dibandingkan dengan insitusi keuangan formal lainnya ( Misalnya bank atau koperasi) tetapi lebih lamban bila dibandingkan dengan insitusi keuangan informal seperi rentenir atau hubungan kekerabatan.
8. Masyarakat indonesia mayoritas beragama islam dan institusi ini berjalan dengan prinsip syariah.
9. Kemudahan dalam syarat pendirian BMT

Peranan BMT bagi usaha mikro kecil menengah adalah:
1. Membukakan akses terhadap sumber permodalan diluar akumulasi keuntungannya sendiri.
2. Membantu menjaga keberlangsungan usaha.
Sebagai penyedia modal kerja, BMT membantu menjaga sustainability usaha. Bahkan dalam kondisi tertentu, misalnya modal tersedot oleh kebutuhan keluarga, BMT dapat memberikan pinjaman tanpa bagi hasil dengan akad Qardhul hasan.
3. Pada mitra lama dan mitra usaha dengan tahap akumulasi modal, BMT dapat menjadi sumber modal untuk investasi atau diversifikasi usaha.
Pada studi ini ditemukan bahwa komposisi terbesar mitra BMT adalah mitra yang mengalami kenaikan pendapatan. BMT berperan besar dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kehadiran BMT dapat menjaga keteraturan sumber pendapatan keluarga mitra, memungkinkan mitra menabung atau melakukan investasi, serta menambah sumber pendapatan keluarga.(Widyaningrum, 2002: ix)

Sudah menjadi pengetahuan umum, terutama bagi perbankan bahwa UKM adalah pemasaran dan penjaminan atas pembiayaan. Berbeda dengan India, misalnya pemerintahnya menjamin penuh kredit yang diberikan kepada UMK melalui perusahan penjamin kredit untuk usaha kecil atau credit Guaranteefund trust for mall industries (CGFTSI). Sudah saatnya kita, minimal pemerintah provinsi memulai merumuskan cetak biru berupa Rencana Induk Pengembangan Usaha Mikro, kecil dan menengah.(Suara Merdeka, 26 April 2005)

Pengembangan kewirausahaan di Indonesia tentunya menjadi tanggung jawab semua pihak dan sebelum BMT mencoba berusaha mengembangkan kewirausahaan di Indonesia, maka terlebih dahulu BMT pun harus optimal dalam memperbaiki kondisi internal agar kualitas kinerja BMT dapat dibuktikan.



Top