Sabtu, 12 Juni 2010

Baitul Mal Wattamwil (BMT)

Sejarah Baitul Mal Wattamwil

Implikasi nilai-nilai syariah dalam bidang ekonomi adalah terbentuknya lembaga-lembaga keuangan yang berlandaskan nilai-nilai syariah. Sampai awal abad 20 untuk mendirikan lembaga perbankan dan keuangan syariah belum beranjak dari area diskusi teoritis semata. Hal ini berkelanjutan hingga lahirnya The Mith Ghamr Bank di Mesir tahun 1963. The Mith Ghamr Bank merupakan contoh bank Islam pertama yang beroperasi di pedesaan.

Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia (Antonio, 1999). Pada awal periode 1980 an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Raharjo, A.M. Saefuddin, M.Amin Azis dan lain-lain. Beberapa uji coba dalam skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi, yakni koperasi Ridho Gusti.

Sedangkan perkembangan bank syariah di tanah air mendapat pijakan setelah adanya deregulasi sektor perbankan tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberi keleluasaan, penentuan tingkat suku bunga, termasul nol persen (atau peniadaan bunga sekaligus). Sesungguhnya kesempatn inipun tidak termanfaatkan karena tidak diperkenankannya membuka kantor cabang baru.

Titik kulminasinya tercapai dengan terbitnya PP no 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil sebaliknya pula bank yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (pasal 6). Namun prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990 menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam di Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di hotel Sahid Jaya Jakarta, 22 – 25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat MUNAS IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.

Di Indonesia bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat. Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara muslim yang lain, perbankan syariah di Indonesia akan terus perkembang. Bila pada tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank syariah di Indonesia, maka pada tahun 1999 jumlahnya menjadi 3 unit. Pada tahun 2000, bank syariah maupun bank konvensional yang membuka unit usaha syariah telah meningkat menjadi 6 unit. Sedangkan jumlah BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah) sudah mencapai 86 unit dan masih akan terus bertambah.

Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting, diproyeksikan bahwa total asset bank syariah di Indonesia akan tumbuh sebesar 2850% selama 8 tahun, atau rata-rata tumbuh 356.25% tiap tahunnya. Sebuah pertumbuhan aset yang sangat mengesankan. Tumbuh kembangnya aset bank syariah ini dikarenakan adanya kepastian disisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat terhadap keberadaan bank syariah. Dan sebagai salah satu multiplier efect yang lain dari kemudahan berdirinya bank syariah dengan dikeluarkannya undang-undang oleh Bank Indonesia yang mengatur permasalahan tersebut adalah munculnya sebuah lembaga keuangan mikro syariah yang lebih dekat dengan kalangan masyarakat bawah, hal ini juga didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat miskin (notabenenya umat Islam) yang terjerat oleh rentenir dan juga dalam rangka usaha memberikan alternatif bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya yang tidak dapat berhubungan secara langsung dengan bank Islam dikarenakan usahanya tergolong kecil dan mikro , maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga keuangan yang beroperasi menggunakan gabungan konsep Baitul Mal dan Baitut Tamwil, yang target, sasaran, serta skalanya pada sektor usaha mikro.

Dengan semakin banyaknya orang-orang yang memiliki perhatian terhadap lembaga kecil ini serta disamping juga perlu adanya pembinaan pada BMT-BMT serta dibutuhkan adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT ataupun penghubung BMT kepada lembaga ekonomi yang lebih besar baik pemerintah atau swasta, dan tentunya juga dalam usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan BMT dimasa depan, maka berdiri pulalah lembaga pembina BMT yang berupa Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM), apakah itu yang bernama Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), Pusat Inkubasi Bisnis dan Usaha Kecil (PINBUK) maupun Dompet Dhuafa (DD) Republika. Dan yang sampai saat ini masih dengan sangat intensif melakukab pendampingan dan pembinaan terhadap BMT-BMT yang telah dan akan berdiri adalah PINBUK.

Sejak didirikan pada 1995, Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) telah mengibarkan bendera dakwahnya dengan memberdayakan para pengusaha kecil. Ini dilakukan dengan mendirikan berbagai lembaga keuangan alternatif yang berprinsip syariah di lapisan grass root. Lembaga keuangan itu bernama Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau padanan kata dari Balai Usaha Mandiri Terpadu.

BMT menerapkan prinsip syariah atau bagi hasil yang sangat mudah dikenalkan pada masyarakat baik di perkotaan maupun pedesaan. Masyarakat di Indonesia memang sudah akrab dengan pola bagi hasil. Masyarakat Aceh, misalnya, dalam mengelola sawah sudah lama menggunakan sistem mawah bagi hasil antara pemilik sawah dengan petani pengelola dengan bagi hasil 50:50.

Dengan kata lain, apa yang kini dipraktekkan seluruh BMT adalah wujud reinkarnasi kultural berekonomi masyarakat tempo dulu dalam bentuk pelembagaan yang lebih modern dan sesuai dengan tuntutan zaman. Pelembagaan BMT diilhami oleh sejarah kuatnya posisi lembaga-lembaga ekonomi di masa awal kebangkitan ekonomi umat Islam. Sebut saja lembaga baitul maal (rumah harta) yang lahir di zaman Rasulullah SAW. Lembaga ini berfungsi sebagai badan logistik umat Islam. Namun demikian, baitul maal dan BMT punya banyak perbedaan, baik sejarah maupun perannya.

Pengertian dan Karakteristik

Pengertian Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
BMT adalah Balai Usaha Mandiri Terpadu yang isinya berintikan konsep Baitul Maal Wa tamwil (PINBUK, 2001:1). Dalam definisi operasional, BMT adalah lembaga usaha ekonomi rakyat kecil yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum berdasarkan prinsip syari’ah. Secara konsepsi BMT adalah suatu lembaga yang didalamnya mencakup dua jenis kegiatan sekaligus yaitu:
Kegiatan mengumpulakan dan dari berbagai sumber seperti: zakat, infaq dan shodaqoh serta lainya yang dibagikan/disalurkan kepada yang berhak dalam rangka mengatasi kemiskinan.
Kegiatan produktif dalam rangka nilai tambah baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber daya manusia. (Muhammad, 2000:106).

BMT merupakan lembaga yang terdiri atas dua kegiatan sekaligus, yaitu Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Kegiatan baitul Maal dalam BMT adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelolah dana yang bersifat nirlaba (sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infaq dan sedekah, atau sumber lain yang halal. Kemudian, dana tersebut disalurkan kepada mustahik, yang berhak, atau untuk kebaikan. Sedangkan kegiatan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit motive. Penghimpunan dana diperoleh melalui simpanan pihak ketiga dan penyalurannya dilakukan dalam bentuk pembiayaan atau investasi, yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’at. (Widodo,dkk,1999:81)

Tujuan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Didirikannya BMT bertujuan : meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Sifat Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
BMT bersifat usaha bisnis mandiri ditumbuhkembangkan secara swadaya dan dikelolah secara profesional. Aspek Baitul Maal, dikembangkan untuk kesejahteraan anggota terutama dengan penggalangan dana ZISWA (zakat, infaq, sedekah, waqaf dll) seiring dengan penguatan kelembagaan BMT.
Sifat usaha BMT yang berorientasi pada bisnis dimaksudkan supaya pengelolaan BMT dapat dijalankan secara profesional, sehingga mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Aspek bisnis BMT menjadi kunci sukses mengembangkan BMT. Dari sinilah BMT akan mampu memberikan bagi hasil yang kompetitif kepada deposannya serta mampu meningkatkan kesejahteraan para pengelolanya sejajar dengan lembaga lainnya.
Sedangkan aspek sosial BMT berorientasi pada peningkatan kehidupan anggota dan masyarakat sekitar yang membutuhkan.(Ridwan, 2004:129)

Fungsi Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
Dalam rangka mencapai tujuannya, BMT berfungsi :
Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalat dan daerah kerjanya.
Meningkatkan kualitas SDM anggota menjadi lebih profesional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global.
Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota.
Menjadi perantara keuangan antara agniyah sebagai shohibul maal dengan du’afah sebagai mudhorib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah dll
Menjadi perantara keuangan, antara pemilik dana, baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna dana untuk pengembangan usaha prduktif. (Ridwan, 2004:131)

Operasionalisasi Baitul Maal wa Tamwil (BMT)
Kegiatan yang dikembangkan BMT adalah :
Jasa Keuangan
Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT berupa penghimpunan dana dan menyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan dari dan untuk anggota atau non anggota. BMT dapat disamakan dengan sistem perbankan/lembaga keuangan yang mendasarkan kegiatannya dengan syariat islam. Hal ini juga terlihat dari produk-produk jasanya yang kurang lebih sama dengan yang ada dalam perbankan islam.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan koperasi, untuk jenis kegiatan simpan pinjam, aktivitasnya tidak boleh bercampur dengan aktivitas lain yang dilakukan oleh koperasi. Artinya, koperasi harus merupakan entitas tersendiri dan khusus untuk aktivitas simpan pinjam harus disediakan modal sendiri yang dipisahkan, jumlahnya sudah ditentukan dan tidak boleh berkurang.

Sektor Riil
Pada dasarnya, kegiatan sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana BMT. Namun, berbeda dengan kegiatan sektor jasa keuangan yang penyalurannya berjangka waktu tertentu, penyaluran dana pada sektor riil bersifat permanen atau jangka panjang dan terdapat unsur kepemilikan di dalamnya. Penyaluran dana ini selanjutnya disebut investasi atau penyertaan. Investasi yang dilakukan BMT dapat dengan mendirikan usaha baru atau dengan masuk ke usaha yang sudah ada dengan cara membeli saham.

Sosial (Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf)
Kegiatan pada sektor ini adalah pengelolaan zakat, infaq, sedekah dan waqaf yang berhasil dihimpun oleh BMT. Sektor ini merupakan salah satu kekuatan BMT, karena juga berperan dalam pembinaan agama bagi para nasabah sektor jasa keuangan BMT. Dengan demikian, pemberdayaan yang dilakukan BMT tidak terbatas pada sisi ekonomi, tetapi juga dalam hal agama. Diharapkan pula para nasabah BMT tersebut akan turut memperkuat sektor sosial BMT ini dengan menyalurkan ZIS-nya kepada BMT. (Widodo,dkk,1999:82)

Secara umum, Baitul Mal Wattamwil adalah gabungan dari dua bentuk kelembagaan yaitu baitul mal dan baitut tamwil. Secara etimologis, istilah Baitul Mal berarti rumah uang, sedangkan Baitut Tamwil mengandung pengertian rumah pembiayaan. Istilah Baitul Mal telah ada dan tumbuh sejak zaman Rasulullah Saw, meskipun saat itu belum terbentuk suatu lembaga yang permanen dan terpisah. Kelembagaan baitul mal secara mandiri sebagai lembaga ekonomi berdiri pada masa Khalifah Umar bin Khattab atas usulan seorang ahli fiqh bernama Walid bin Hisyam (Tim P3UK, 1994).

Sejak masa tersebut dan masa kejayaan Islam selanjutnya (Dinasti Abasiyah dan Ummayah), Baitul Mal telah menjadi institusi yang cukup vital bagi kehidupan negara. Ketika itu, Baitul mal telah menangani berbagai macam urusan mulai dari penarikan zakat(juga pajak), ghanimah, infaq, shadaqah, sampai membangun fasilitas umum seperti jalan, jembatan, menggaji tentara dan pejabat negara serta kegiatan sosial kepentingan umum. Bila dipersamakan dengan saat ini, maka Baitul Mal ketika zaman sejarah Islam dapat dikatakan menjalankan fungsi Departemen Keuangan, Ditjen Pajak, Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum dan lain sebagainya (TIM P3UK, 1994).

Sedangkan Baitut Tamwil dalam istilah modern adalah Bank Islam. Azis (1992) mendefinisikan bank berdasarkan syariah (bank Islam) adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasinya berdasarkan syariah Islam. Ini berarti operasi perbankan mengikuti tata cara berusaha maupun perjanjian berusaha berdsarkan Al Quran dan Sunnah Rasul Muhammad Saw. Dalam operasinya bank Islam menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya yang sesuai dengan syariah Islam.

Mannan (1994; 168-169) menyatakan bahwa mekanisme perbankan Islami yang berdasarkan prinsip mitra usaha adalah bebas bunga. Karena itu soal membayarkan bunga kepada depositor atau pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul. Dari penjelasan arti baitul mal dan baitut tamwil, maka yang dimaksud dengan baitul mal wattamwil (Djazuli, 2002) adalah lembaga keuangan terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Selain itu Baitul Mal Wattamwil juga bisa menerima titipan zakat, infaq, shadaqah serta menyalurkannya sesuai dengan peraturan syariah dan amanahnya.

Atas landasan pengertian tersebut, maka kita telah kita ketahui bahwa BMT merupakan salah satu lembaga keuangan syariah yang menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu pada satu sisi ia bertindak sebagaimana layaknya bank syariah, sedangkan disisi yang lain dia juga memiliki fungsi sosial yang berperan seperti halnya lembaga zakat, infaq dan shadaqah.


Top