Emas hitam, itulah sebutan bagi minyak bumi yang mempunyai nilai fungsi yang sangat tinggi bagi kebutuhan energi dunia. Ikatan eter yang terdapat dalam senyawa minyak bumi membuatnya sangat mudah terbakar, sehingga dari sifat tersebut sangat mudah sekali mengubahnya menjadi energi yang kita gunakan. Ikatan eter yang terdapat dalam senyawa tersebut juga tidak terlalu banyak sehingga tidak terlalu sensitif terhadap api sehingga energi yang dihasilkan dari pembakaran minyak bumi dapat dikendalikan dan tidak terlalu mudah meledak. Oleh karena sifat itulah sebagian besar produsen di dunia lebih menyukai minyak bumi dibandingkan dengan jenis bahan bakar lainnya.
Nilai fungsi yang sangat besar dari minyak bumi tersebut membuat permintaan akan minyak bumi sangat tinggi tetapi penawaran pasar kurang dapat merespon positif terhadap permintaan. Kondisi ini memang tidak dapat dielakkan karena sumber daya yang tersedia di alam memang terbatas, sehingga harga dari jenis bahan bakar ini sangat tinggi. Meskipun pada awalnya minyak bumi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, tapi asumsi keadaan tersebut kini berbalik seratus delapan puluh derajat dari pertama kali ditemukannya minyak bumi.
Tingginya konsumsi dunia akan minyak bumi pada awalnya memang merangsang dunia indusri untuk dapat memproduksi lebih banyak produk. Tetapi dengan semakin tingginya harga minyak bumi dari waktu ke waktu, ketergantungan tersebut sekarang malah menjadi bumerang bagi dunia perindustrian. OPEC sebagai organisasi pengekspor minyak dunia, mempunyai peran yang sangat vital bagi pergerakan harga dari minyak bumi dunia. Kebijakan yang dikeluarkan OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia agar tidak terlalu fluktuatif dengan cara menambah atau mengurangi produksi dinilai kurang memberikan dampat yang cukup signifikan. Untuk mengurangi produksi itu mungkin saja cukup mudah dilakukan, tetapi tidak cukup mudah untuk menambah kapasitas produksi apalagi dalam jangka waktu yang pendek dan kapasitas yang besar. Kanaikan permintaan pasar akan minyak bumi ternyata memang tidak bisa dibarengi dengan kenaikan produksi minyak bumi. Sehingga pergerakan harga minyak bumi yang cenderung fluktuatif tidak dapat dihindarkan lagi.
Peran minyak bumi dalam perindustian tersebut mempunyai korelasi yang sangat besar terhadap perekonomian suatu negara. Dalam jangka pendek, bagi negara pengimpor kenaikan harga minyak bumi yang membumbug tinggi akan menyebabkan kemandekan dan stagnasi dalam perekonomian negara tersebut, sebaliknya bagi negara pengekspor kenaikan harga ini justru digunakan untuk mengambil keuntungan maksimal untuk mengoptimalkan anggaran negara. Sehingga kita tidak bisa melihatnya secara parsial di tengah perekonomian dunia yang semerawut ini. Karena kompleksitas dari masalah minyak ini memang cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi suatu negara dan lebih luas lagi yaitu pasar dunia.
Di zaman yang lalu ekonomi minyak bumi itu merupakan pelampung bagi ekonomi nasional, terutama ekonomi pemerintah. Di zaman Suharto, ketika menteri keuangannya Ali Wardhana, maka pajak dalam negeri dari sumber non-migas tidak terlalu dibutuhkan. Penerimaan dari minyak bumi bisa membiayai anggaran belanja negara, bahkan bisa menyumbang dana anggaran untuk pembangunan. Keadaan demikian sudah berlalu dan mungkin sudah usang. Produksi minyak bumi sudah mulai menurun sedikit dan mulai defisit untuk mendukung kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri. Tetapi, ekspor gas bumi masih cukup banyak dan terus merupakan sumber penerimaan negara yang lumayan. Tetapi, dengan meningkatnya harga minyak bumi maka pemerintah harus memberi subsidi kepada Pertamina yang semakin besar oleh karena harga-harga BBM dalam negeri dibekukan oleh pemerintah. Besar subsidi ini untuk tahun 2004 bisa melebihi Rp 60 trilyun atau lebih dari US$ 5 milyar. Hal ini pendarahan yang luar biasa dan menguras anggaran pemerintah untuk mendukung pembangunan. Maka seolah-olah harga minyak bumi yang melangit itu amat merugikan perekonomian negara. Kesimpulan demikian hanya setengah benar. Harus dibedakan kepentingan nasional dan kepentingan pemerintah, yang tidak sama.
Resistansi yang lemah dan ketergantungan akan minyak bumi yang terlalu tinggi dipastikan akan memperlemah sendi-sendi perekonomian suatu negara sehingga pada ujung dari efek domino ini, sektor riil yang menjadi acuan kesejahteraan masyarakat yang ditunjau dari segi pemerataan akan kurang berkembang. Indonesia sendiri yang mempunyai cadangan minyak bumi yang sangat tinggi, ternyata kurang bisa mengeksplotisir dengan sebaik-baiknya. Masalah anggaran dan faktor sumber daya manusia lagi-lagi menjadi alibi dari kegagalan pemerintah dalam mengoptimalkan cadangan minyak yang relatif banyak tersebut.
Memang kenaikan harga yang sangat fluktuatif minyak bumi baru terjadi pada awal tahun 90-an dimana tingkat konsumsi energi dunia sangat tinggi guna mengembangkan industri dan perekonomian dunia. Pengalaman tentang pergerakan harga minyak tersebut ternyata belum cukup untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari gejolak harga minyak tersebut bagi perekonomian dunia. Sampai sekarang belum ditemukan formulasi teori ekonomi yang cukup brilian untuk mampu mengatasi krisis kecil yang ditimbulkan faktor tersebut.
Di tengah kondisi makro yang kurang kondusif ini akibat krisis kasus subprime mortage yang terjadi di Amerika Serikat, kenaikan harga minyak dunia yang mendekati angka psikologisnya sebesar 98 dolar AS per barel pada awal November lalu menambah kekisruhan fungsi dari minyak bumi sebagai salah satu faktor penting dalam pengembangan perekonomian dunia. Padahal awalnya minyak bumi hanya sebagai penghasil energi bukan penghasil devisa. Bukan hanya masalah ekonomi yang menjangkiti masalah perminyakan ini, kita semua tentu masih ingat akan invasi Amerika terhadap Irak. Alasan yang digunakan Amerika untuk menyerang Irak adalah untuk mencari dan memusnahkan senjata pemusnah masal yang diduga dimiliki oleh Irak. Tetapi diduga alasan itu terlalu mengada-ada dan seolah dibuat-buat. Hasil penyerangan tersebut juga tidak membuktikan adanya senyata pemusnah masal yang selama itu dituduhkan. Jelas bahwa motif yang sebenarnya dari penyerangan tersebut adalah tentang penguasaan minyak. Minyak menjadi salah satu faktor penting dalam proses percaturan politik dunia
Beberapa alternatif memang sudah ditempuh untuk mencari sumber daya alternatif yang mempunyai kemiripan sifat dengan minyak bumi. Indonesia sudah dua dekade mengalami krisis energi. Walaupun terlambat, Pemerintah melalui Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang pemasyarakatan dan penggunaan bahan bakar nabati melalui gerakan penghematan penggunaan bahan bakar energi fosil Diantaranya sumber daya yang dapat diperbaharui dari bahan nabati, misalnya saja bioetanol. Tetapi harapan untuk bisa menandingi minyak bumi ternyata mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi. Mungkin sepuluh tahun lagi kita bisa melihat bahan bakar nabati bisa lebih murah dan dapat menandingi minyak bumi.
Oleh karena banyaknya sebab atau alasan yang sangat kompleks tersebut, kita harus mampu mempunyai resistanbilitas atau daya tahan yang kuat terhadap gejolak fluktuasi harga minyak dunia dan tidak boleh tergantung pada sumber daya yang mempunyai fleksibilitas yang tinggi untuk mempengaruhi perekonomian seperti minyak bumi.
Kondisi riil Indonesia sendiri terhadap sensitifitas isu yang berkembang tentang gejolak harga minyak dunia cukup meresahkan para ekonom. Meskipun Indonesia termasuk anggota OPEC, tetapi banyak yang menyarankan agar Indnesia keluar dari OPEC karena Indonesia bukan lagi sebagai pengeksspor minyak tetapi pemimpor minyak. Inilah salah satu bukti bahwa bangsa kita kurang bisa memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alamnya yang kaya.
Alternatif-alternatif kebijakan dan teori baru yang bersifat permanen dan dalam jangka panjang perlu diproduksi oleh pemikir-pemikir ekonomi dan perlu segera diimplementasikan tehadap kondisi ekonomi Indonesia yang masih memperhatikan kondisi sektor riil dan makro serta dampak psikologis yang timbul akibat dari kebijakan tersebut. Misalnya saja pemercepatan penelitian terhadap bahan bakar bio seperti bio etanol dan biogas agar biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin agar harganya lebih murah dari bahan bakar fosil yang persediaanya terbatas dan kemungkinan besar akan terus berfluktuasi.
Bukan saja teknologi yang perlu diutamakan, proses birokrasi yang semakin mbilbet dan kwalitas SDM perlu dibenahi secara berbarengan untuk menjadi pertimbangan dalam analisis konvergensi terhadap resistansi perekonomian dalam gejolak fluktuasi harga minyak yang semakin menggila. Memang secara teoritis hal itu sangat mudah dilakukan, tetapi melihat pengalaman Bangsa Indonesia yang cenderung sukar untuk menerapkan sesutu kemaslahatan yang berkala, kesulitan tersebut nampaknya sudah terbayang di depan mata. Tapi kita tidak boleh langsung mempunyai sikap pesimistis terhadap arah pemikiran yang menuju ke arah kemajuan bangsa. Semangat juang yang tinggi perlu di pupuk di dalam kultur dan mental Bangsa Indonesia agar kemajuan bangsa bukan hanya mimpi di siang bolong.
Nilai fungsi yang sangat besar dari minyak bumi tersebut membuat permintaan akan minyak bumi sangat tinggi tetapi penawaran pasar kurang dapat merespon positif terhadap permintaan. Kondisi ini memang tidak dapat dielakkan karena sumber daya yang tersedia di alam memang terbatas, sehingga harga dari jenis bahan bakar ini sangat tinggi. Meskipun pada awalnya minyak bumi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, tapi asumsi keadaan tersebut kini berbalik seratus delapan puluh derajat dari pertama kali ditemukannya minyak bumi.
Tingginya konsumsi dunia akan minyak bumi pada awalnya memang merangsang dunia indusri untuk dapat memproduksi lebih banyak produk. Tetapi dengan semakin tingginya harga minyak bumi dari waktu ke waktu, ketergantungan tersebut sekarang malah menjadi bumerang bagi dunia perindustrian. OPEC sebagai organisasi pengekspor minyak dunia, mempunyai peran yang sangat vital bagi pergerakan harga dari minyak bumi dunia. Kebijakan yang dikeluarkan OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia agar tidak terlalu fluktuatif dengan cara menambah atau mengurangi produksi dinilai kurang memberikan dampat yang cukup signifikan. Untuk mengurangi produksi itu mungkin saja cukup mudah dilakukan, tetapi tidak cukup mudah untuk menambah kapasitas produksi apalagi dalam jangka waktu yang pendek dan kapasitas yang besar. Kanaikan permintaan pasar akan minyak bumi ternyata memang tidak bisa dibarengi dengan kenaikan produksi minyak bumi. Sehingga pergerakan harga minyak bumi yang cenderung fluktuatif tidak dapat dihindarkan lagi.
Peran minyak bumi dalam perindustian tersebut mempunyai korelasi yang sangat besar terhadap perekonomian suatu negara. Dalam jangka pendek, bagi negara pengimpor kenaikan harga minyak bumi yang membumbug tinggi akan menyebabkan kemandekan dan stagnasi dalam perekonomian negara tersebut, sebaliknya bagi negara pengekspor kenaikan harga ini justru digunakan untuk mengambil keuntungan maksimal untuk mengoptimalkan anggaran negara. Sehingga kita tidak bisa melihatnya secara parsial di tengah perekonomian dunia yang semerawut ini. Karena kompleksitas dari masalah minyak ini memang cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi suatu negara dan lebih luas lagi yaitu pasar dunia.
Di zaman yang lalu ekonomi minyak bumi itu merupakan pelampung bagi ekonomi nasional, terutama ekonomi pemerintah. Di zaman Suharto, ketika menteri keuangannya Ali Wardhana, maka pajak dalam negeri dari sumber non-migas tidak terlalu dibutuhkan. Penerimaan dari minyak bumi bisa membiayai anggaran belanja negara, bahkan bisa menyumbang dana anggaran untuk pembangunan. Keadaan demikian sudah berlalu dan mungkin sudah usang. Produksi minyak bumi sudah mulai menurun sedikit dan mulai defisit untuk mendukung kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri. Tetapi, ekspor gas bumi masih cukup banyak dan terus merupakan sumber penerimaan negara yang lumayan. Tetapi, dengan meningkatnya harga minyak bumi maka pemerintah harus memberi subsidi kepada Pertamina yang semakin besar oleh karena harga-harga BBM dalam negeri dibekukan oleh pemerintah. Besar subsidi ini untuk tahun 2004 bisa melebihi Rp 60 trilyun atau lebih dari US$ 5 milyar. Hal ini pendarahan yang luar biasa dan menguras anggaran pemerintah untuk mendukung pembangunan. Maka seolah-olah harga minyak bumi yang melangit itu amat merugikan perekonomian negara. Kesimpulan demikian hanya setengah benar. Harus dibedakan kepentingan nasional dan kepentingan pemerintah, yang tidak sama.
Resistansi yang lemah dan ketergantungan akan minyak bumi yang terlalu tinggi dipastikan akan memperlemah sendi-sendi perekonomian suatu negara sehingga pada ujung dari efek domino ini, sektor riil yang menjadi acuan kesejahteraan masyarakat yang ditunjau dari segi pemerataan akan kurang berkembang. Indonesia sendiri yang mempunyai cadangan minyak bumi yang sangat tinggi, ternyata kurang bisa mengeksplotisir dengan sebaik-baiknya. Masalah anggaran dan faktor sumber daya manusia lagi-lagi menjadi alibi dari kegagalan pemerintah dalam mengoptimalkan cadangan minyak yang relatif banyak tersebut.
Memang kenaikan harga yang sangat fluktuatif minyak bumi baru terjadi pada awal tahun 90-an dimana tingkat konsumsi energi dunia sangat tinggi guna mengembangkan industri dan perekonomian dunia. Pengalaman tentang pergerakan harga minyak tersebut ternyata belum cukup untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari gejolak harga minyak tersebut bagi perekonomian dunia. Sampai sekarang belum ditemukan formulasi teori ekonomi yang cukup brilian untuk mampu mengatasi krisis kecil yang ditimbulkan faktor tersebut.
Di tengah kondisi makro yang kurang kondusif ini akibat krisis kasus subprime mortage yang terjadi di Amerika Serikat, kenaikan harga minyak dunia yang mendekati angka psikologisnya sebesar 98 dolar AS per barel pada awal November lalu menambah kekisruhan fungsi dari minyak bumi sebagai salah satu faktor penting dalam pengembangan perekonomian dunia. Padahal awalnya minyak bumi hanya sebagai penghasil energi bukan penghasil devisa. Bukan hanya masalah ekonomi yang menjangkiti masalah perminyakan ini, kita semua tentu masih ingat akan invasi Amerika terhadap Irak. Alasan yang digunakan Amerika untuk menyerang Irak adalah untuk mencari dan memusnahkan senjata pemusnah masal yang diduga dimiliki oleh Irak. Tetapi diduga alasan itu terlalu mengada-ada dan seolah dibuat-buat. Hasil penyerangan tersebut juga tidak membuktikan adanya senyata pemusnah masal yang selama itu dituduhkan. Jelas bahwa motif yang sebenarnya dari penyerangan tersebut adalah tentang penguasaan minyak. Minyak menjadi salah satu faktor penting dalam proses percaturan politik dunia
Beberapa alternatif memang sudah ditempuh untuk mencari sumber daya alternatif yang mempunyai kemiripan sifat dengan minyak bumi. Indonesia sudah dua dekade mengalami krisis energi. Walaupun terlambat, Pemerintah melalui Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang pemasyarakatan dan penggunaan bahan bakar nabati melalui gerakan penghematan penggunaan bahan bakar energi fosil Diantaranya sumber daya yang dapat diperbaharui dari bahan nabati, misalnya saja bioetanol. Tetapi harapan untuk bisa menandingi minyak bumi ternyata mempunyai biaya produksi yang lebih tinggi. Mungkin sepuluh tahun lagi kita bisa melihat bahan bakar nabati bisa lebih murah dan dapat menandingi minyak bumi.
Oleh karena banyaknya sebab atau alasan yang sangat kompleks tersebut, kita harus mampu mempunyai resistanbilitas atau daya tahan yang kuat terhadap gejolak fluktuasi harga minyak dunia dan tidak boleh tergantung pada sumber daya yang mempunyai fleksibilitas yang tinggi untuk mempengaruhi perekonomian seperti minyak bumi.
Kondisi riil Indonesia sendiri terhadap sensitifitas isu yang berkembang tentang gejolak harga minyak dunia cukup meresahkan para ekonom. Meskipun Indonesia termasuk anggota OPEC, tetapi banyak yang menyarankan agar Indnesia keluar dari OPEC karena Indonesia bukan lagi sebagai pengeksspor minyak tetapi pemimpor minyak. Inilah salah satu bukti bahwa bangsa kita kurang bisa memanfaatkan sumber daya yang tersedia di alamnya yang kaya.
Alternatif-alternatif kebijakan dan teori baru yang bersifat permanen dan dalam jangka panjang perlu diproduksi oleh pemikir-pemikir ekonomi dan perlu segera diimplementasikan tehadap kondisi ekonomi Indonesia yang masih memperhatikan kondisi sektor riil dan makro serta dampak psikologis yang timbul akibat dari kebijakan tersebut. Misalnya saja pemercepatan penelitian terhadap bahan bakar bio seperti bio etanol dan biogas agar biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin agar harganya lebih murah dari bahan bakar fosil yang persediaanya terbatas dan kemungkinan besar akan terus berfluktuasi.
Bukan saja teknologi yang perlu diutamakan, proses birokrasi yang semakin mbilbet dan kwalitas SDM perlu dibenahi secara berbarengan untuk menjadi pertimbangan dalam analisis konvergensi terhadap resistansi perekonomian dalam gejolak fluktuasi harga minyak yang semakin menggila. Memang secara teoritis hal itu sangat mudah dilakukan, tetapi melihat pengalaman Bangsa Indonesia yang cenderung sukar untuk menerapkan sesutu kemaslahatan yang berkala, kesulitan tersebut nampaknya sudah terbayang di depan mata. Tapi kita tidak boleh langsung mempunyai sikap pesimistis terhadap arah pemikiran yang menuju ke arah kemajuan bangsa. Semangat juang yang tinggi perlu di pupuk di dalam kultur dan mental Bangsa Indonesia agar kemajuan bangsa bukan hanya mimpi di siang bolong.