Sabtu, 12 Juni 2010

Manajemen Strategis Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai Optimalisasi Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Krisis moneter pada akhir dasawarsa 1990 yang melanda Indonesia diyakini banyak pihak merupakan konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Perbankan (konvensional) sebagai pelaku ekonomi sektor moneter yang menjadikan uang sebagai komoditas telah berkembang sedemikian cepat sementara sektor riil selalu tertinggal di belakang karena memerlukan waktu untuk memproses input menjadi output. Akibatnya, perbankan konvensional mengalami non-performing loan yang sangat tinggi dan negative spread. Sementara itu ketangguhan Bank syari’ah yang tidak melepaskan ikatan sektor moneter dengan sektor riil karena tidak berbasis pada riba merupakan pembuktian alasan di atas.

Lahirnya Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan telah memberi peluang yang sangat baik bagi tumbuhnya bank-bank syari’ah di Indonesia. Tumbuhnya perbankan yang seirama dengan tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari riba berimbas pada makin maraknya sektor moneter di tingkat bawah. Ini terbukti pada berkembangnya BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sampai di desa-desa. Pesatnya pekembangan lembaga keuangan mikro seperti BMT menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

keputusan menteri keuangan republik Indonesia nomor 40 /kmk.06/2003 tentang pendanaan kredit usaha mikro dan kecil menteri keuangan republik Indonesia BAB I Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi:” Lembaga Keuangan Pelaksana, selanjutnya disebut LKP, adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat/Bank Perkreditan Rakyat Syariah, Pegadaian, Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam-Koperasi, Baitul Maal wa Tamwil (BMT), dan lembaga-lembaga perkreditan yang diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.”

Perkembangan Baitul maal wa tamwil di Indoneia cukup menggembirakan bila dilihat dari segi kuantitas. Informasi terakhir menyebutkan telah berdiri sebanyak 3037 BMT di Indonesia, dengan total asset sebesar Rp. 300 miliar dan dana swadaya masyarakat senilai Rp. 264 miliar. Dan kami optimis jumlah tersebut akan terus bertambah mengingat masih besarnya peluang BMT untuk menggarap sektor riil di Indonesia.

Jumlah lembaga keuangan mikro (LKM) saat ini diduga tak kurang berjumlah mencapai 9000 LKM. Jumlah BMT di seluruh Indonesia diperkirakan sebayak 3.307 unit dengan aset sekitar Rp 1, 5 trilyun. Artinya, hampir separuh dari LKM nasional adalah BMT. Secara individual, BMT sangat bervariasi. Tidak sedikit BMT yang mengelola aset di atas Rp 10 M dengan jumlah nasabah di atas 3.000 ribuan orang, meskipun juga banyak BMT yang asetnya kurang dari Rp 50 juta dan nasabahnya kurang dari 500-an orang.

Baitul maal wa tamwil masih memiliki peluang yang besar dalam industri keuangan. Data terakhir menurut Badan Pengelolaan Statistik (BPS) menyebutkan bahwa ada 39.121.350 pengusaha kecil, 55.437 pengusaha menengah, dan 39.176.787 pengusaha UKM, dan 40.137.773 usaha kecil. Dan tentunya unit usaha kecil tersebut perlu pendanaan dan pembinaan dari lembaga keuangan.

Euforia menjamurnya BMT harus disikapi secara bijak. Di satu sisi, perkembangan tersebut adalah suatu yang menggembirakan, namun di sisi yang lain akuntabilitas keuangan BMT-BMT tersebut patut dipertanyakan. Jika pelaporan keuangan Bank Syari’ah dan BPR Syari’ah relatif dapat dipertanggungjawabkan karena harus didasarkan pada ketentuan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI) dan selalu dipantau oleh Bank Indonesia, namun tidak demikian halnya dengan BMT, meskipun jenis kegiatannya hampir sama.

Selanjutnya, BMT dikenal sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang paling dekat dengan rakyat kecil. Hal ini tidak berlebihan mengingat operasional BMT yang menjangkau usaha kecil yang tidak bisa dijangkau oleh lembaga keuangan lainnya seperti bank syariah atau BPRS. Dilihat dari faktor tersebut maka penulis optimis bahwa ke depan BMT masih tetap dibutuhkan bagi pemberdayaan perekonomian negara.
BMT dalam perkembangannya sejauh ini dipandang belum sepenuhnya mampu menjawab masalah nyata ekonomi yang ada dikalangan masyarakat. Banyak kendala yang dihadapi BMT diantaranya masih rendahnya paradigma berpikir serta respon masyarakat terhadap sistem syariah. BMT masih memiliki keterbatasan kinerja dalam menjangkau para nasabah pengusaha kecil dan mikro. Sementara keluhan yang paling banyak diajukan oleh responden adalah plafon maksimal pinjaman masih kecil sera pinjaman yang dicairkan lebih kecil dari yang diajukan. Keluhan lainnya adalah ratio bagi hasil atau mark up. Ratio bagi hasil atau mark up yang harus di serahkan ke BMT terlalu besar bahkan bisa lebih besar dari angsuran pinjaman dan bunganya ke bank. Keluhan ini setidaknya menunjukan bahwa pemahaman mitra terhadap sistem bagi hasil tidak sama dengan pemahaman BMT.
Meskipun secara konsep BMT, merupakan instansi yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun dalam aplikasi di lapangan sering kali kita melihat BMT-BMT yang keluar dari jalur syariah, umumnya mereka lebih condong ke arah baitul tamwil yang mempunyai orientasi ke arah profit oriented dari pada ke arah baitul maal yang mempunyai orientasi pada tujuan sosial dan bersifat nirlaba. Melihat kecenderungan ini perlu ada pengawasan yang intensif dalam pengeolaannya sehingga citra BMT tidak menjadi buruk.

Bila kita analisis dari perspektif kualitas maka masih banyak yang harus diperbaiki di tubuh BMT. Pendanaan yang kurang baik dari segi jumlah maupun waktu, kredit macet, rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang mengelolanya, produk yang hanya meminjam istilah syariah, adalah beberapa contoh dari kekurangan BMT selama ini. Akibatnya, masih banyak masyarakat yang berhubungan dengan rentenir meskipun di wilayahnya telah ada BMT, usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) masih kesulitan dalam pendanaan, dan respon masyarakat terhadap keberadaan BMT masih jauh dari yang diharapkan.

Pembinaan BMT tidak dilakukan oleh BI, oleh karenanya diluar ketentuan PSAK dan PAPSI, disamping karena dianggap sebagai bentuk Koperasi. Namun demikian, BMT merupakan “anak tiri” dari Departemen Koperasi yang kurang mendapat perhatian terutama dari aspek akuntabilitasnya. Besarnya ‘ghirah’ dan dana masyarakat dalam BMT akan berujung kekecewaan manakala akuntabilitas BMT-BMT tersebut terabaikan.
Baitul maal wa tamwil perlu merumuskan suatu manajemen strategis untuk bisa mereduksi kekurangan-kekurangan tesebut. Dalam hal ini kami tidak bermaksud mengatakan bahwa BMT belum mengimplementasikan suatu manajemen strategis, karena pastinya BMT sebagai suatu organisasi telah melakukannya meskipun masih bersifat informal, sehingga mungkin dampaknya kurang signifikan. Dengan manajemen strategis, BMT akan berusaha menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal organisasi, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) internal dan dibandingkan dengan peluang (opportunity) dan ancaman (threath) eksternal, sehingga BMT dapat membuat dan memilih strategi apa yang layak untuk digunakan.

Hal mendasar yang harus segera diselesaikan adalah strategi BMT dalam kaitannya dengan human capital. Masalah sumberdaya manusia adalah masalah krusial dalam suatu operasionalisasi organisasi, karena sebagian besar kebangkrutan organsasi disebabkan oleh rendahnya kualitas pengelolanya. Berbicara tentang pengelolaan sumberdaya manusia di BMT maka tidak lepas dari kualitas skill dan kualitas spiritual. Kualitas skill merujuk pada perilaku profesional dari pengelola BMT dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Berkaitan dengan hal tesebut maka BMT perlu melakukan program-program yang dapat meningkatkan profesionalisme pengurus melalui pelatihan kepemimpinan, workshop, ataupun pembinaan manajerial. Sedangkan kualitas spiritual lebih merujuk pada implementasi nilai-nilai Islam pada setiap aktivitas pengelola BMT. Dalam hal ini maka peran ulama’ sangatlah penting untuk mencetak kader-kader yang handal untuk mengelola BMT.

Dalam kaitannya dengan personel di tingkat top management adalah penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemimpin tersebut yang berdampak pada kinerja pengurus lainnya. Menurut Robbins (2003:62), dalam lingkungan organisasi yang menuntut perubahan, maka tipe pemimpin transformasional adalah lebih efisien. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang di-individualkan, dan yang memiliki kharisma. Pemimpin akan mampu meningkatkan ekspektasi hasil pengurus BMT untuk lebih mengutamakan kepentingan tim/orgamisasi daripada kepentngan individu tanpa harus mengurangi kinerja individu. Dengan kharisma yang dimiliki maka pemimpin akan mampu mengarahkan pengurus agar berperilaku sesuai visi dan misi BMT dalam operasional sehari-hari.

Selanjutnya, dibutuhkan suatu strategi inovasi dalam kaitannya dengan produk yang dihasilkan organisasi. Hal ini disebabkan inovasi memegang peranan penting dalam menjaga kelangsungan hidup BMT dalam industri lembaga keuangan. BMT dapat menggunakan strategi penetrasi pasar (market penetration) dimana BMT mencari pangsa pasar yang lebih besar untuk produk/jasa yang sudah dihasilkan melalui aktivitas pemasaran yang gencar. Selanjutnya BMT bisa menggunakan pengembangan pasar (market development) dimana BMT memperkenalkan produk/jasa yang sudah ada ke wilayah geografi yang baru. Strategi pengembangan produk (product development) juga dapat diterapkan melalui peningkatan penjualan dengan memperbaiki produk/jasa yang sudah ada atau mengembangkan produk yang baru. BMT juga dapat mengunakan strategi diversifkasi konsentiris (concentric diversification) dimana terjadi penambahan produk/ jasa baru yang masih ada kaitannya dengan produk/jasa utama BMT. Pada akhirnya dengan inovasi yang handal maka BMT akan mampu membuat diferensiasi dengan lembaga keuangan mikro lainnya sehingga eksistensinya tetap terjaga.

Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam inovasi produk, BMT tidak boleh melanggar dari aturan syariah. Diperlukan kerjasama dengan Dewan pengawas Syariah atau Dewan Syariah Nasional agar produk yang dihasilkan benar-benar sesuai aturan Islam. Sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BMT bisa meningkat dan tidak akan ada opini bahwa BMT hanya mendompleng istilah syariah tanpa tahu esensinya.

Salah satu pilar bagi pengembangan BMT adalah modal yang kuat. Ke depannya, BMT harus membangun link-link yang kuat dengan para stakeholder. Strategi yang digunakan misalnya dengan menjadi bagian dari Linkage program antara Bank syariah-BPRS-BMT. Dimana BMT sebagai perpanjangan tangan dari perbankan syariah yang menyalurkan dana ke Usaha kecil, mikro dan menengah (UMKM) yang selama ini sulit dijangkau oleh bank syariah. Dengan Linkage program, maka BMT bisa meningkatkan ketersediaan dananya.



Top