Selasa, 15 Juni 2010

Aliran Dana Kampanye Pilkada dalam Perspektif Kelembagaan

Dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Jawa Timur. Bukan hanya penyelenggaraannya yang memakan biaya sekitar Rp 500 miliar, tetapi yang lebih mencengangkan adalah biaya sosialisasi, kampanye, dan biaya pemenangan calon gubernur dan wakil gubernur itu. Dana untuk mendapatkan dukungan tentu sangat banyak.

Pasangan Karsa mampu mengumpulkan dana kampanye sebesar Rp. 9.300.620.919 disusul pasangan Ka-Ji sebesar Rp. 5.350.000.000, pasangan SR Rp. 4 miliyar dan pasangan SaLam sebesar Rp. 1,4 milyar.Dana kampanye pasangan Khofifah-Mudjiono (Ka-Ji) dari sisi penerimaan dilaporkan berjumlah Rp. 5.350.000.000. Berdasarkan klasifikasi penyumbang dibagi menjadi dua yaitu sumbangan dari perorangan sebesar Rp. 2.900.000.000 dan sumbangan dari badan hukum sebesar Rp. 2.450.000.000. Sedangkan kalau berdasarkan bentuk barang terbagi menjadi dua yaitu Rp. 5 milyar berupa uang dan Rp. 350 juta berupa barang.

Lalu bagaimana aliran ekonomi kelmbagaan melihat fenomna seperti ini. Ekonomi kelmbagaan mempunyai 3 komponen yaitu formal institution, informal institution dan enforcement mechanism. Pemilu dan pilkada sendiri sudah memiliki aturan formal yang termaktub dalam beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah. Ketentuan mengenai transparansi kampanye sendiri telah mengamanatkan hal ini dengan jelas. Misalnya, Pasal 129 UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, yang mengatur kewajiban pembukuan khusus dana kampanye yang harus dilaporkan ke KPU. Selain itu, Pasal 134 UU Pemilu Legislatif itu juga mengatur kewajiban pelaporan awal dana kampanye paling lambat tujuh hari sebelum hari pertama pelaksanaan kampanye rapat umum.
Lebih jauh lagi, KPU pun lewat Peraturan No 19/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu 2009 Pasal 64 juga mengatur tentang pembukuan dana kampanye dan pencatatan sumbangan, bahwa pembukuan harus dilakukan tiga hari setelah penetapan sebagai peserta pemilu. Laporan dana yang masuk dan keluar juga harus dilaporkan ke Kantor Akuntan Publik (KAP) yang telah ditunjuk KPU.

Apalagi ketentuan tentang transparansi dan akuntabilitas dana kampanye juga dimandatkan UU No 2/2008 tentang Parpol; serta nantinya dalam UU Pilpres. Dalam UU terkait tersebut bahkan diatur tentang nominal batas sumbangan untuk kampanye parpol. Peraturan lain yang semakin menguatkan kewajiban parpol untuk bersikap transparan adalah UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Pasal 1 Butir 3 dan Pasal 7 Ayat 1 dan Ayat 2 UU KIP menyebutkan Badan Publik yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sumber dananya sebagian atau seluruhnya berasal dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi nonpemerintah, sepanjang dana mereka sebagian maupun seluruhnya berasal dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri berkewajiban untuk menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan, yang berada di bawah kewenangannya, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, sangat jelas bahwa parpol termasuk dari badan publik yang terkena oleh kewajiban tersebut. Terlepas dari ada dan tidaknya pesta demokrasi, seperti pemilu dan pilkada, terkait dengan pengumuman informasi publik secara berkala, sesuai dengan mandat dalam Pasal 9 Ayat 1 dan Ayat 2 huruf c UU KIP ini, parpol sesungguhnya berkewajiban untuk menjadi organisasi politik yang modern, profesional, serta transparan, termasuk tentang informasi mengenai laporan keuangannya.

Sesuai pasal 65 dan 66 PP No.6/2005 setelah diumumkan kepada publik laporan dana kampanye dari masing-masing tim pemenangan pasangan calon ini akan diberikan kepada kantor akuntan Basri dkk selaku pemenang tender Tim Auditor dana kampanye Pilgub.“Dana kampanye yang dilarang diterima oleh pasangan calon dan bisa menggugurkan statusnya sebagai pasangan calon adalah berasal dari sumbangan luar negeri, dari dana APBN/APBD atau BUMN/BUMD dan dari orang atau lembaga yang tidak jelas.

Berdasar aturan terbaru, setiap parpol wajib mencatatkan seluruh pemasukan dan penggunaan dana kampanye. Parpol juga dilarang menerima atau menggunakan sumbangan dana yang anonim. Dana (anonim) itu nanti harus masuk kas negara karena tidak diketahui siapa yang menyumbang. Terhadap dana yang sudah jelas namanya pun, KPU wajib mengawasi pihak yang menyumbang parpol. Pengalaman 2004, salah satu parpol mendapatkan sumbangan Rp 200 juta dari seorang pengusaha tempe. Karena pada 2004 tidak ada aturan audit anggaran dana kampanye parpol, anggaran itu pun lolos tanpa pemeriksaan.

Saat audit nanti, KPU rencananya bekerja sama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, dalam kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan. Hal itu dapat dilihat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, misalnya, pada 2004 hanya 10 parpol yang menyerahkan laporan keuangannya; lalu pada 2005 dan 2006 menjadi hanya sembilan parpol yang menyerahkan laporan keuangan tahunannya. Padahal, UU Parpol No 31/2002 saat itu telah mewajibkan parpol yang telah mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan HAM untuk menyerahkan laporan keuangannya setiap tahun ke KPU. Kenyataan itu juga tidak lepas dari masih ringannya sanksi yang diterapkan.

Dari sini tampak betapa masih rendahnya disiplin dan profesionalisme parpol di Indonesia. Padahal, dalam proses pendaftaran, parpol peserta pemilu bisa dikatakan 'lebih disiplin' demi kepentingan menjadi peserta pemilu. Namun, sayangnya begitu ditetapkan menjadi peserta pemilu, disiplin dan profesionalisme itu menurun serta digantikan oleh pragmatisme karena merasa sudah lolos dan aman setelah KPU meloloskan parpol menjadi peserta pemilu.
Sayangnya, kenyataan yang terjadi telah menunjukkan meskipun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban parpol untuk bersikap transparan, terlebih dengan adanya UU KIP yang seharusnya momentum yang tepat untuk diterapkan secara konsisten, hal itu tidak berjalan dengan semestinya.

Keterbukaan penggunaan dana kampanye dinilai sebagai salah satu indikator kesiapan partai politik untuk berkompetisi secara adil. Keberadaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) diharapkan dapat melacak carut-marut aliran dana kampanye, meski sangat terbatas pada transaksi di dalam sistem keuangan. Keberadaan PPATK diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif solusi melacak perputaran uang di sekitar kandidat, baik partai politik, perseorangan di dewan perwakilan daerah, maupun nanti presiden. Enforcement mechanism memang perlu untuk mngawal agar aturan formal dan/atau informal dapat berjalan sesuai fungsi dan kedudukannya dalam mengatur masyarakat.



Top